DELAPAN PULUH DELAPAN

39 6 0
                                    

Waktu hampir menunjukkan pagi hari saat mataku masih tetap terjaga. Pikiranku terus berkelana, kembali menelaah segala percakapanku dengan Bang Arka.

"Tidurlah, pikirkan semuanya lagi nanti ketika pikiranmu sudah mulai terbuka." Bang Arka bersuara dari balik punggungku. Tubuhku direngkuh semakin mendekati tubuhnya. Oh ternyata dia juga belum tertidur sejak tadi.

Hembusan nafas kami saling berpacu seakan meresapi setiap pikiran kalut yang menyelimuti jiwa.

Kami tidur bersama sepanjang malam, diatas ranjang yang sama, saling berpelukan untuk menyalurkan segala keresahan dan kegelisahan di pikiran kami. Ya, kami hanya saling berpelukan, tidak lebih dari itu. Lucu bukan? Mengingat yang memelukku adalah Bang Arka, seorang lelaki dewasa yang sudah tahu arti bercinta bahkan sering melakukannya.

Hal yang baru sekali ini ku lakukan dan entah mengapa membuatku merasa sangat nyaman. Pelukan Bang Arka benar-benar bagai candu untukku sejak pertama kali aku merasakan hangat pelukannya. Hal yang biasanya selalu aku hindari, bahkan saat masih bersama Danen, kini malah ku lakukan dengan suka cita.

"Udah hampir pagi Bang. Aku harus bersiap. Jam pertama hari ini diisi oleh Pak Fabian, dosen ganteng yang terkenal killer." Ujarku santai sambil berharap Bang Arka tidak membahas hal itu lagi. Sejujurnya aku masih terlalu takut untuk membayangkan kehidupan Bang Arka dan terlalu pengecut untuk mengambil keputusan.

Bang Arka terkekeh sambil mengeratkan pelukannya.

"Pak Fabian gak killer sayang tapi tegas." Ujarnya membela diri.

Aku memutar bola mataku saat mendengar jawaban Bang Arka.

"Tidurlah, hari ini Pak Fabian meliburkan diri. Dia bilang hanya akan memberikan tugas mandiri dan bisa dikumpulkan minggu depan." Imbuh Bang Arka sambil mencium puncak kepalaku.

Mendengar semua itu, sontak tubuhku langsung berbalik menghadap Bang Arka.

"Serius nih Pak Fabian?" Aku mencoba meyakinkan lagi. Meski samar tapi ku yakin wajahku sudah berbinar.

Bang Arka mengernyitkan dahinya saat melihat responku yang terlihat sangat senang.

"Segitu senangnya kamu tidak bertemu denganku?" cibir Bang Arka yang tak ku hiraukan.

"Bukan berarti aku tidak datang dan kamu bebas melakukan sesuatu yang bisa memicu amarahku Mikha. Ingat, kamu milikku!" Bang Arka alias Pak Fabian langsung mengeluarkan ultimatumnya saat melihatku tak terpengaruh sindirannya.

"Astaga! Posesif!" Aku balas mencibirnya.

"Aku sedang melindungi milikku." Bang Arka mengangkat bahunya acuh.

"Aku belum memberi keputusanku Bang." Aku tak mau kalah berdebat dan kembali mengingatkan dirinya tentang masalah yang mengusikku. Masalah yang membuatku meragu.

Saat diriku sendiri tidak memiliki keyakinan, aku pun tak ingin orang lain menanti keputusanku yang entah kapan akan datang dengan pasti. Kerumitan hidup Bang Arka memaksaku untuk kembali memikirkan hubungan kami.

"Apa aku sangat tercela di matamu, Mikha? Apa dirimu tidak bisa menerima masa laluku? Jika aku tau akan bertemu denganmu, aku pastikan tidak akan berkubang dalam lumpur hitam itu Mikha, tapi bukankah penyesalan selalu datang terlambat? Bukankah kesalahan itu datang untuk menjadi cambuk agar aku menjadi manusia yang lebih baik? Bukankah dari masa lalu itu akhirnya aku menemukanmu? Lalu, tidak bisakah hatimu sedikit saja menerimanya?" Bang Arka terdengar menguatkan suaranya. Ketegasan dan kesungguhan dalam suaranya sangat terasa.

Aku menutup mata sambil mendekatkan wajahku ke dada Bang Arka. Mencoba lagi mencari ketenangan dari tubuh itu.

"Aku tidak percaya dengan diriku sendiri Bang. Aku takut ditengah jalan aku akan berlari ketakutan melihat kehidupan yang ada di sekitarmu. Aku takut jika suatu saat aku yang akan kabur saat melihat kehidupan masa lalumu yang aku yakin masih akan berputar di sekelilingmu. Tak ada jaminan para wanita di masa lalumu akan terus bersembunyi, suatu saat salah satu dari mereka akan datang dan mengusikmu lagi, atau mungkin mengusikku." Ucapku dengan jujur.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang