SERATUS TIGA PULUH

47 4 0
                                    

"Bang, kita nginep di rumah kakak aja ya malam ini?" Tanyaku saat mobil kami sudah melaju di jalanan.

Beberapa saat yang lalu kami sudah menyelesaikan urusan Bang Arka dengan dokter Roy. Sungguh, hasil pemeriksaan itu benar-benar membuat beban di hatiku menguap begitu saja. Hanya tinggal satu langkah lagi, maka semuanya sempurna untuk kami.

"Mikha, Abang banyak kerjaan besok dan lagi kamu juga harus kuliah kan?" Bang Arka menjawab tanyaku.

"Tapi ini aja udah malem Bang, kalau pulang kita sampai rumah tengah malam. Kasihan Mama Papa kalau menunggu kita datang." Aku sedikit membantahnya.

Andai saja Bang Arka tahu alasanku yang sesungguhnya, mungkin dia akan ikut merasa sedih lagi.

Sejak kami tiba di kota ini, hatiku terasa sangat pilu. Entah mengapa aku mendadak mengingat setiap detail kehidupan ku bersama kakak. Ternyata tidak semudah itu menata hati.

Namun, aku berusaha untuk menutupi semua rasa sakit ku. Rasa sakit karena kehilangan kakak terhebatku. Rasa sakit akibat kehilangan. Kak, maafkan aku, masih terus menangisi kepergianmu.

"Malam ini kita pulang ke apartemen ya? Biar gak ngerepotin Mama dan Papa kalau kita datangnya dini hari." Ujar Bang Arka.

"Abang gak capek nyetirnya?" Aku masih berusaha merayunya.

"Tadi Pak Ali sudah Abang suruh datang kesini. Sekarang sudah berada di rumah Farel. Nanti Pak Ali yang akan menyetir." Hah, jika sudah begini, tentu saja aku tak bisa membantah lagi. Bang Arka selalu merencanakan semuanya dengan matang.

"Baiklah kalau gitu." Aku mendesah kesal.

Sedikit kecewa sih, tapi kenyataannya kami memang disibukkan dengan kegiatan kami. Aku pun sudah seminggu ini izin dan baru tadi siang kembali mengikuti perkuliahan. Belum lagi aku masih harus menghadap kepala jurusan.

Bang Arka memang sudah menjelaskan semuanya. Tapi nyatanya Pak Samiran, Kepala jurusan ku, tetap memintaku untuk menghadap ke kantornya. Aku juga baru mengetahui, jika Pak Samiran ternyata juga mendapat kiriman hasil tes DNA yang dilakukan Adinda.

Entahlah, mereka kini dalam fase saling melempar opini, merasa paling benar sendiri. Tapi, melihat fisik anak Adinda, aku benar-benar percaya pada Bang Arka. Anak Adinda, bukan berasal dari ras yang ada negara ini. Meski Ayah memiliki darah campuran, namun ras Ayah juga tidak ada yang memiliki bola mata berwarna biru.

"Mikha, dalam sebulan sampai dua bulan ke depan, Abang akan sangat sibuk. Apa kamu tidak keberatan, sayang?" Pertanyaan Bang Arka sontak membuatku menoleh.

"Abang mau ngapain?" Tanyaku dengan wajah yang sudah terlampau penasaran.

"Abang harus mempelajari perusahaan Papa. Tadi Papa dan Ayah bertemu Abang di perusahaan. Mereka berniat menyatukan perusahaan dan Abang yang memegang kendalinya setelah resepsi pernikahan kita. Bagaimana menurutmu, Mikha?" Bang Arka berusaha meminta pendapatku sembari tangannya sibuk memegang kemudi.

"Wah bagus dong. Papa dan Ayah bisa menikmati masa tua mereka. Biarkan saja Bang, ini saatnya mereka menikmati jerih payahnya selama ini, menikmati hidup santai mereka dengan bahagia. Mereka sudah membesarkan kita dengan susah payah, apalagi Ayah, pasti sangat kesusahan saat membesarkan anak nakal sepertimu." Aku terbahak saat mengatakannya.

Astaga, berani sekali kamu Kay! Dewi batinku mengumpat padaku.

"Mikha!" Haha benarkan? Abang pasti langsung tersulut emosinya.

Pengendalian emosi Bang Arka memang hanya sebatas jarak antara angka satu sampai tiga. Makin lama aku makin hafal dengan kebiasaan Abang.

"Iih si Abang, marah mulu! Cepet keriput Bang, nanti kalau Kay dikira nikah sama kakek-kakek gimana? Terus kalau Kay sampai ditaksir cowok yang lebih muda terus tergoda gimana?" Dengan bodohnya aku terus memberikan bahan bakar pada jiwa yang tengah terbakar itu.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang