"Abang uda gak punya kepentingan lagi di sini?" Tanyaku saat hatiku sudah mulai tenang.
"Kenapa? Mau jalan-jalan?" Bang Arka menawarkan.
"Emang boleh Bang?" Aku sedikit tidak percaya dengan ucapannya. Bang Arka sering sekali naik turun suasana hatinya.
"Ayo. Aku akan menemanimu berkeliling. Aku tak sanggup melihatmu terus menangis meratapi nasib. Macam udah kehilangan sesuatu yang berharga saja. Cih, dasar bocah." Bang Arka mengejekku lagi. Dasar!
Entahlah, setiap kali Bang Arka membuka mulutnya, hatiku dipenuhi amarah yang meluap. Namun entah bagaimana, amarah itu tidak bisa ku ucapkan. Bukan karena aku tidak berani tapi segala yang diucapkan Bang Arka sangat mengena di hati. Benar-benar sesuai dengan kondisi.
Aku pasrah saja mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Bang Arka. Meresapi tiap maknanya.
"Bang, terima kasih banyak ya." Lirih ku berkata, saat kaki kami sudah memasuki lahan perkebunan.
Pagi hari yang belum terlalu panas, dengan angin dingin yang menerpa wajah, membuat otakku sedikit segar. Oksigen di sini sepertinya cocok untuk memberi asupan gizi pada fisik dan mentalku.
"Berterima kasihlah pada dirimu sendiri, Mikha. Karena hanya dirimulah yang mampu menyelamatkan kamu, sejak malam itu. Jika kamu lemah, maka kamu kalah. Jika kamu kuat, maka kamu akan tumbuh semakin kokoh." Bang Arka menjawab.
"Bang.. Hmm.." Aku ragu untuk mengucapkan.
"Ada apa Mikha?" Bang Arka tak sabar menanti.
"Apa aku salah Bang, jika aku masih berharap padanya?" Suaraku terdengar mencicit.
"Gak salah kok, Mikha. Kamu gak salah jika masih berharap padanya." Bang Arka menjawab tanpa memikirkannya.
Seketika aku berhenti, menatap punggung Bang Arka penuh arti. Aku sungguh tak menyangka Bang Arka akan menjawab seperti itu. Wah seorang Arka bisa mengatakan sesuatu yang lembut. Atau mungkin ini adalah sesuatu yang ingin ku dengar selama ini. Hatiku bersorak saat memikirkannya.
Bang Arka pun menghentikan jalannya, membalik badan dan menatapku. Langkahnya tegap, menuju arahku. Memendekkan jarak antara kami. Dengan penuh tekanan, Bang Arka memegang bahuku.
"Kamu gak salah jika masih berharap padanya. Tapi kamu sangat bodoh jika sampai terperdaya dengan harapan bodoh dan gak masuk akalmu itu, apalagi jika kamu sampai kembali padanya, kamu akan menjadi bodoh pangkat tak terhingga." Ucap Bang Arka lembut sambil tersenyum, namun sangat menusuk hatiku.
Jleeeebbb.. Tepat sasaran.
Aku membuang nafas kasar. Kata-kata Bang Arka tak sanggup lagi ku dengar. Semuanya benar. Aku meringis melihat wajah Bang Arka. Wajah tampan, dengan senyum manisnya yang sebenarnya sangat mematikan. Jantungku berdegup kencang. Takut pada perkataan Bang Arka yang seperti sebuah ancaman.
"Masih mau jalan-jalan atau kita kembali ke bangku tadi untuk meratapi diri?" Bang Arka menawarkan solusi yang tidak memecahkan masalah.
"Jalan-jalan Bang." Aku menjawabnya singkat saja.
"Kalau begitu ayo, kita lanjutkan perjalanan panjang ini." Ucap Bang Arka sambil tersenyum penuh semangat padaku seakan dia ingin menularkan euforia yang entah dari mana ia dapatkan secara tiba-tiba.
"Oke Bang." Aku menjawab sambil tersenyum, tak ingin merusak suasana hatinya. Dan hatiku sendiri tentu saja.
Kami terus menyusuri jalan setapak yang ada di dalam perkebunan teh itu. Sesekali tanganku ikut memetik pucuk daun teh dan menghirup baunya.
"Gak ada baunya ternyata." Ujarku sesaat setelah mencium pucuk daun teh.
"Banyak proses yang harus dilalui oleh selembar daun itu untuk menghasilkan teh yang bagus dan berkualitas tinggi." Jawab Bang Arka sambil dagunya menunjuk pada hamparan daun teh.
"Banyak proses ya Bang? Misalnya kayak apa Bang?“ Tanyaku penasaran.
"Daun-daun itu mengalami beberapa proses hingga sampai pada hasil akhir, yaitu daun teh berkualitas. Setelah proses pemetikan, daun itu akan mengalami proses pelayuan, kemudian dimemarkan. Setelah itu masuk proses oksidasi. Ada juga yang harus melalui proses penghilangan warna hijau, apabila ingin membuat teh hitam. Dan tahap akhir ada pembentukan dan pemeliharaan." Jawab Bang Arka.
"Wah, Abang tau semua proses itu? Hebat!" Aku merasa kagum pada Bang Arka dan tulus mengucapkannya.
"Biasa aja. Siapapun bisa belajar. Kebetulan aja aku sedikit lebih banyak belajar tentang teh daripada orang kebanyakan." Bang Arka merendah.
"Kamu pekerja di sini Bang?" Tiba-tiba rasa penasaranku memuncak.
Bukan jawaban dari Bang Arka yang ku terima, namun tatapan yang tak bisa ku artikan. Sekilas ku lihat, alisnya ditarik ke atas sambil mulutnya menyunggingkan senyum yang meremehkan. Kebiasaan Bang Arka yang sering tertangkap mataku.
"Tadi kan udah ku bilang, aku ke sini untuk kerjasama Mikha." Akhirnya Bang Arka memilih menjawab pertanyaanku.
"Aku lupa Bang, kalau kamu tadi uda bilang." Aku membantah, tak mau kalah.
Bang Arka diam, menatapku tajam. Sepertinya dia ingin terus berdebat denganku. Aku yakin dia sedang memikirkan beribu kalimat untuk membungkamku. Ah baiklah, akan aku tunggu saja.
Tapi..
Apa ini? Aku mengerjap berkali-kali. Mencoba menguasai diri. Aku terus mencoba memahami yang terjadi.
"Mikha, jangan terus menyakiti diri sendiri. Bangkitlah Mikha. Kamu masih muda, nikmati masa mudamu dengan bahagia. Jangan terus merana. Kamu bisa, Mikha. Apa kamu butuh bantuan?" Ujar Bang Arka lirih, sambil mendekap erat tubuhku.
Ya, Bang Arka merengkuh tubuhku. Menarikku dalam pelukannya. Membenamkan wajahku dalam dadanya. Mencoba menyalurkan kehangatan untuk hatiku.
Aku terdiam. Meresapi setiap tindakannya. Mencerna setiap kata-katanya. Apa aku sungguh membutuhkan bantuan? Bantuan apa? Seketika aku teringat kata-kata Bang Arka saat di rumahku. Dia bilang, dia sampai butuh bantuan psikolog untuk menenangkan jiwanya. Apa aku pun sebenarnya membutuhkan itu semua? Ah tak tahulah.
"Bang.." Aku tak sanggup meneruskan kata-kata ku. Tapi sejujurnya aku juga bingung harus mengatakan apa setelahnya. Air mataku mulai tak terkendali, tanpa permisi ia meloloskan diri.
"Tenanglah, jangan malah menangis Mikha, aku gak bermaksud untuk membuatmu menangis. Aku malah ingin membuatmu keluar dari lubang hitam ini." Bang Arka berkata penuh kesabaran.
"Mikha, apa kamu ingat dengan proses pembuatan teh yang aku jelaskan tadi? Sama seperti daun teh, untuk menghasilkan teh yang harum dan berkualitas tinggi, maka daun teh menjalani berbagai proses yang panjang. Sama seperti hidupmu, untuk mencapai suatu mimpi dan kebahagiaan, kamu pun butuh proses panjang untuk mendapatkannya. Kamu butuh ditempa agar kuat dan kokoh. Jalani prosesnya dengan ikhlas, maka kamu pun akan mendapatkan hasil yang maksimal. Karena hasil tidak pernah mengkhianati proses, Mikha." Bang Arka berkata dengan penuh kelembutan.
Mendengar Bang Arka berbicara seperti itu, hatiku terasa diremas. Ya, hasil memang tidak pernah mengkhianati prosesnya, tapi justru yang terjadi padaku saat ini adalah kebalikannya. Proses panjangku selama tiga tahun ini, menghasilkan suatu pengkhianatan yang menyesakkan dada. Aku semakin terisak. Dan Bang Arka semakin mengeratkan pelukannya.
"Mikha, saat ini kamu sedang ditempa untuk meningkatkan kualitasmu sebagai seorang wanita. Bersabarlah dan kuatlah. Proses ini tak akan lama jika kamu bisa laluinya. Jangan pernah menyerah pada perjalanan ini, kamu yang harus menang menjalani proses ini. Teruslah melangkah sampai menemukan jalan keluar." Aku menangis mendengar semua perkataan Bang Arka.
"Sekarang menangislah sampai puas, setelah itu, busungkan dadamu. Lawanlah sakit hatimu, angkuhlah pada lelaki itu. Jangan goyah. Teruslah berjalan menatap ke depan. Jika kamu sudah lebih kuat, kamu bisa menatap ke belakang sebentar untuk mengingat sakit ini. Bukan untuk meratapi tapi untuk mempelajari kembali. Aku akan berusaha untuk membantumu." Ujar Bang Arka lirih sambil mengusap puncak kepalaku.
Aku membalas pelukan Bang Arka dengan erat. Terima kasih Tuhan sudah mengirimkan malaikatmu untuk menjagaku saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...