SEPULUH

105 7 0
                                        

"Ah maaf, aku baru sekali ini mengatakan ini pada orang lain, itu pun padamu yang baru beberapa jam ku kenal. Namun entah kenapa aku ingin mengatakannya padamu. Sudah beberapa bulan ini ku pendam sendiri." Bang Arka lirih berkata, sambil ujung jarinya mengusap sisa air matanya. Matanya masih tertutup dan wajahnya masih menatap ke luar jendela.

Aku menatap Bang Arka dalam. Menyelami rasa sakit yang dirasakan. Ternyata aku tak sendiri. Ada Bang Arka yang juga tersakiti. Ya, tak selamanya seorang lelaki itu menjadi pelaku. Dia pun hanya manusia biasa yang bisa terluka. Dan tak selamanya seorang wanita itu korban, dia juga bisa menjadi pelaku yang menggoreskan luka. Ini pelajaran penting yang aku dapat dari Bang Arka.

"Bang, sabar ya Bang. Aku tak tau cara menghiburmu Bang, tapi aku akan ada di sini menemanimu." Aku menyentuh bahu Bang Arka. Berharap dia mendapat penghiburan dariku.

Tunggu, tapi apa yang aku katakan? Menemaninya? Oh Mulut, tolong dikondisikan dirimu kalau mau berucap!

Bang Arka menoleh padaku dan tersenyum.

"Jangan mengatakan sesuatu yang akan kamu sesali. Aku yakin, kamu barusan menyesal kan sudah berkata seperti itu padaku? Jika aku berharap kamu temani terus gimana?" Ujar Bang Arka sambil tersenyum menggodaku.

Dengan segera ku tarik tanganku dari lengannya. Menutup mulutku yang menganga. Benar dugaanku, dia sang pembaca pikiran! Aku menjadi gamang.

"Eh maksudku bukan gitu Bang. Maksudnya aku pun mau mendengarkan keluh kesalmu, meski aku gak bisa bantu dan gak tau apapun tentang masalahmu, bahkan aku juga gak tau siapa kamu sebenarnya. Tapi aku mau kok mendengarkan ceritamu." Aku berkata jujur pada Bang Arka. Daripada nanti dia membaca pikiranku lagi. Lebih malu jika kepergok seperti itu.

"Iya aku tau niat baikmu, Mikha. Gak usah khawatir aku akan berpikir buruk padamu. Apa kamu tau Mikha, kenapa aku tiba-tiba ingin menceritakan ini padamu? Padahal seperti katamu tadi, kita baru beberapa jam bertemu." Bang Arka bertanya padaku. Aku yang memang tidak mengetahui apapun tentang lelaki ini, hanya menggeleng pelan.

"Mikha, sejak pertama aku melihatmu dalam hujan malam itu, aku merasa kamu sangat rapuh. Pada awalnya, aku hanya mengira kamu sosok gadis yang penuh masalah, pembuat onar. Tapi ketika kamu melihatku, kamu mendadak takut dan khawatir. Sorot matamu mengisyaratkan untuk berlari dan melindungi diri. Dari situ hatiku yakin, bahwa kamu bukanlah gadis yang lemah dan tidak ada salahnya menolongmu. Toh aku juga punya bukti jika aku bukan lelaki jahat atau lelaki yang akan memanfaatkanmu." Bang Arka runtun menjelaskan semua yang ingin ku dengar dan ku ketahui.

Aku tersentak. Menatap Bang Arka tanpa berkedip. Jadi seperti inilah bayangan Bang Arka padaku malam itu. Apa aku sangat kacau saat itu? Aku hampir tidak mengingat bagaimana rupaku kala itu.

"Apa aku sangat mengerikan malam itu Bang?" Aku bertanya dengan ragu. Berharap sedikit mengingat yang terjadi malam itu. Karena sejujurnya, entah apa saja yang ku lakukan malam itu, aku sungguh tak mengingatnya. Yang ku ingat hanya rasa sakit yang tertinggal.

"Jika ada kata yang artinya lebih dari mengerikan, nah, malam itu kamu ada di titik tersebut." Terang Bang Arka sambil terbahak.

Aku seketika menutup mulutku yang terbuka. Terkejut dengan penjelasan Bang Arka. Fix, aku mirip monster kala itu! Oh hancur sudah kesan gadis manis yang ku bangun selama ini.

Ku lihat Bang Arka tertawa menatapku. Memandangku dengan tatapan yang sulit ku artikan. Ah Bang Arka, dibalik sikapmu yang seperti ini, ternyata kamu menyimpan luka yang masih menganga.

"Lalu, kenapa kamu tiba-tiba mempercayai aku untuk mendengar ceritamu Bang?" Aku menanyakan alasan utamanya menjadikanku orang yang berhak mendengarkan ceritanya.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang