Aku keluar dari ruangan Bang Arka, berjalan dengan senyum lebar menuju ruangan himpunan. Entah apa yang membuat hatiku seriang ini hingga senyumku terus ku tunjukkan. Mungkin karena aku sudah diizinkan mengikuti penelitian atau mungkin karena hatiku sudah lega saat mendengar kata cinta dari Bang Arka. Rasa hatiku terbalaskan, aku tidak lagi merindu dalam diam.
"Permisi, Kak." Sapaku pada beberapa senior yang ada di depan ruang himpunan. Aku bermaksud mencari Aldrich.
"Wohaaa si ratu hukuman datang." Salah satu seniorku menyapa dari belakang seraya mengalungkan tangannya di bahuku.
Aku tersentak mendapat perlakuan seperti ini. Bukan tanpa alasan, aku hanya khawatir yang ada di lantai dua sedang melihatku. Himpunan dan ruang dosen itu berseberangan meski berbeda gedung. Sangat jelas apa pun yang sedang terjadi disini jika para dosen itu berdiri dari jendelanya.
"Heh itu tangan dikondisikan, gak inget apa kalau si ratu hukuman ini udah ditandain dari awal." Sergah seniorku yang lainnya, yang aku belum tau siapa namanya. Ospek selama sebulan ini tidak membuatku mengenal nama-nama mereka. Yang ku kenal hanya beberapa saja, termasuk Aldrich dan geng DISMAnya yang sering menghukumku.
"Eh bener juga ya, tuh anak gercep banget kalau urusan beginian. Lihat yang bening langsung main tandain aja, mana manfaatin jabatan lagi." Seru senior lainnya, saat membicarakan seseorang, entah siapa. Aku terdiam mendengarkan ocehan ketiga seniorku tadi, otakku masih mencerna semuanya.
"Gimana ospek kemarin? Seru?" Tanya seseorang yang tangannya masih di bahuku.
Aku meringis, entah apa yang harus aku katakan sebagai jawaban. Seru? Definisi seru yang seperti apa maksudnya?
"Seru tuh gimana sih Kak? Buat Kay sih gak ada serunya! Orang tiap hari Kay nurutin maunya Kak Al and the genk terus. Seru kagak, sebel iya!" Geramku sambil membayangkan kelakuan Aldrich sebulan ini.
Menggelegarlah tawa dari ketiga manusia itu. Baguslah, aku sepertinya bisa membuat mereka terhibur. Cih, dasar!
Risih dengan tangan senior yang ada di bahuku, aku berusaha menepisnya. Bukannya melepasku, dia malah menarikku untuk ikut duduk di bangku panjang yang ada di depanku. Bergabung dengan kedua senior tadi.
"Kamu sadar gak sih? Kenapa mereka ngelakuin itu? Kenapa mereka sering banget ngehukum kamu?" Tanya senior yang tadi merangkulku.
"Hmm kata Kak Al sih biar kita tetap punya tata krama?" Aku menjawab dengan nada yang justru terdengar sebagai pertanyaan. Sangat jelas terdengar keraguannya.
Dan tawa itu kembali membahana. Ketiga senior lelakiku itu terbahak-bahak mendengar jawabanku. Ini pada kenapa sih? Otakku atau otak mereka yang bermasalah?
"Tata krama ya? Tapi kenapa gak ke semua anak baru sih? Kenapa tiap hari yang di ciduk cuma kamu doang?" Seniorku berkata disela tawanya.
"Hmm itu mungkin.."
"Pada bisa diem gak?" Belum selesai aku mengungkapkan teoriku, sebuah suara menyela percakapan kami.
Sontak kami berempat menatap pemilik suara yang sedang berdiri di ambang pintu ruangan himpunan dengan wajah datarnya. Dih, si artis jurusan beraksi!
"Nah panjang umur. Gimana, udah resmi belum? Sebulan dipepet terus masa belum ada kejelasan." Salah satu seniorku membuka suara sambil menatap sosok yang baru muncul itu.
Aku tersenyum menatapnya, entah kenapa aku lega melihatnya. Aku enggan berada terlalu lama bersama ketiga lelaki ini. Meski mereka lucu tapi membuat jantungku berdetak bertalu-talu. Aku khawatir ada yang melihatku dari atas sana.
"Jangan dengerin Kay. Sini masuk. Gimana tadi di ruang Pak Fabian? Apa yang kalian bicarakan? Lama banget, mau aku samperin tadi." Itu Aldrich yang sedang berbicara. Sosok itulah yang berdiri di ambang pintu. Menatapku seolah sedang memeriksa tubuhku, apakah utuh atau ada yang terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...