Aku terdiam. Memandang lekat hamparan dedaunan. Sepanjang mata memandang, hanya warna hijau yang tersaji. Para wanita hilir mudik di hadapanku, memetik pucuk daun teh yang siap di panen, dengan menggendong keranjang di punggungnya. Segar dan damai. Pemandangan yang sungguh jarang ku nikmati.
Ada angin apa tadi Bang Arka bisa tiba-tiba terpikir membawaku ke sini? Tapi aku menikmatinya dan sedikit bersyukur karena di bawa ke sini olehnya. Sejenak, aku bisa menenangkan hatiku. Ya, hatiku yang belum sembuh. Hatiku yang masih meninggalkan luka yang menganga.
Otakku kembali memutar memori malam itu. Sekuat tenaga aku menghalaunya. Sial, bayangannya sangat kuat, hingga aku tak sanggup melawannya. Bagai roll film yang terus menerus berputar otomatis di kepala. Kenapa sesakit ini rasanya? Aku ingin berhenti tapi otakku terus mengingatnya.
Aku merutuki diriku sendiri. Aku ingin kuat, aku ingin bangkit. Namun, rasa itu selalu mengalahkanku. Aku bingung apa yang harus ku perbuat. Aku bingung dengan langkah yang akan aku tempuh. Bisakah aku melalui ini semua dengan baik? Ataukah aku harus diam agar semua terlihat baik-baik saja? Seketika aku mengingat Mama dan Papa yang terus mengkhawatirkan ku. Bisakah aku pura-pura tersenyum saja, agar mereka bahagia?
Jangan nangis, Kay! Oh ayolah gadis cantik, simpan air matamu. Kamu berharga, Kay. Jangan lemah, dan jangan menyerah. Berusahalah. Aku terus merapalkan mantra agar hatiku terus terjaga, agar aku tidak lagi goyah dengan cintanya.
Goyah? Ya, sejujurnya aku masih goyah. Ada sebagian hatiku, yang menginginkan selalu berdiri di sampingnya dan memaafkan segala kesalahannya. Namun bagian hatiku yang lain tidak mengizinkannya. Khawatir dia akan melakukan kesalahan yang sama.
Seketika aku teringat kata-kata Bang Arka saat kami pertama berjumpa. Bang Arka sempat mengatakan, bahwa di hatinya pun masih ada rasa cinta yang selalu dia jaga namun logikanya menyuruh untuk melepaskan saja. Apa aku sekarang sedang di fase yang sama dengan Bang Arka? Berjuang untuk melepaskan orang terkasih? Berjuang untuk melanjutkan hidup meski itu sepahit empedu? Berjuang untuk menata hati yang telah porak poranda?
Duh Gusti, kenapa Kau timpakan ujian ini? Bisakah aku menjaga hati? Bisakah aku sembuh dari luka ini?
Aku meraih ponsel di dalam tasku. Aku tersenyum getir, menatap wallpaper yang ku pasang. Lelaki itu memelukku erat dari belakang, kepalanya bersandar di puncak kepalaku, sebelah tangannya memegang bunga daisy putih dan aku memegang tangannya.
Seketika itu juga, aku mengingat dengan jelas kejadian hari itu. Itu saat ulang tahunku, yang kami rayakan berdua di tempat istimewa kami. Dulu pertama kali melihat bunga itu, aku langsung memutuskan bunga daisy putih sebagai bunga kesukaanku. Bagaimana tidak, saat mengatakan cintanya dulu, Danen memberikan aku bunga itu, sambil mengatakankan arti bunga daisy putih. Bunga dengan makna kesucian, kemurnian dan kesetiaan cinta. Aku langsung menobatkannya sebagai bunga terindah dan Danen sebagai lelaki paling romantis.
Tiba-tiba mataku menghangat. Air mataku tak kuasa lagi ku bendung. Ia meloloskan diri tanpa izinku. Lagi-lagi aku dikhianati fisikku. Saat hatiku ingin melupakan, tapi otakku malah menampilkan adegan demi adegan romantika kami dulu. Jangan cengeng, Kay! Aku masih berusaha menyemangati diriku sendiri.
Aku menundukkan kepala lebih dalam, tak ingin menjadi pusat perhatian. Aku sadar, ibu-ibu pekerja tadi mulai memperhatikan. Memang aneh rasanya, melihat seorang gadis duduk sendiri sambil menangis tersedu sedan. Mereka pasti sudah berpikir macam-macam. Aku yakin, Bang Arka yang akan disalahkan. Hahaha aku tertawa membayangkan.
"Udah selesai nangisnya?" Suara bariton tiba-tiba terdengar jelas dari sisi belakangku. Aku memutar kepala mencari sumber suara.
"Abang sejak kapan berdiri di situ?" Aku terlonjak, kaget dengan sosok yang sudah ada di hadapanku kini.
"Sejak es krim ini beku sampai sekarang jadi bisa di sedot." Bang Arka menjawab tak acuh.
Aku tak mampu menjawab perkataan Bang Arka, terlalu bingung dengan sosoknya yang muncul tiba-tiba. Aku hanya bisa melayangkan tatapan mencibir.
"Masih saja menangisi sesuatu yang tak berguna. Hematlah tenaga dan air mata, jangan dibuang sia-sia. Kayak gak ada lelaki lain saja." Suara Bang Arka masih terdengar mencercaku.
Tangan Bang Arka menyodorkan es krim yang setengah mencair padaku. Hah, dia sungguh menyuapku dengan es krim! Apa dikiranya aku benar-benar masih balita?
"Sembuhkan lukamu segera, jangan semakin kamu pupuk dan pelihara. Kamu masih muda. Jalan panjang masih terbuka. Masa depan menunggumu di sana. Lepaskan dia!" Bang Arka kembali membuka suara, saat dilihatnya aku hanya diam saja.
Aku menghembuskan nafas panjang. Kata-kata Bang Arka semua benar. Tapi entah kenapa, otakku masih belum bisa menerima, hatiku menolaknya. Sakit ini masih sangat terasa. Aku hanya bisa meneteskan air mata.
"Bang, apa di hatimu sudah tidak ada lagi luka? Apa semua itu bisa sembuh dengan segera?" Lirih ku berkata, menyibak tabir luka Bang Arka.
Aku menatap sendu tepat pada mata Bang Arka. Seketika aku merasa ikut terluka dengan apa yang telah mulutku ucapkan. Refleks aku tutup mulutku saat ku liat mata Bang Arka mulai berkaca-kaca, menahan tangis dan juga luka. Namun dia merubah mimik wajahnya segera. Berganti dengan wajah murka. Aku menciut menatapnya.
"Sakit hatimu tidak ada apa-apanya. Kamu merasa sangat sakit karena ini adalah yang pertama kalinya, benar kan? Sakitmu karena kamu sudah merangkai mimpi bersama dan ternyata itu gak terlaksana. Sakit ini tidak akan lama. Kamu masih belia, jalani semua sewajarnya. Kelak kamu akan tertawa, mengenang ini semua." Dengan berapi-api Bang Arka berusaha mengubah arah pandangku. Ku lihat Bang Arka menarik nafas panjang, berusaha meredam emosinya sendiri.
"Setiap luka selalu meninggalkan bekas, Mikha. Dan bekasnya selalu menyisakan pedih. Tapi itu semua jangan kamu jadikan beban. Karena hidup akan terus berjalan." Bang Arka kembali berkata sambil menatap lurus ke depan. Sepertinya dia sangat yakin dengan masa depan yang akan dia tempuh. Sangat berbanding terbalik denganku, hah..
"Jadi, apa Bang Arka sudah melupakan semua luka hatimu?" Sisi keras kepalaku masih terus mengorek luka Bang Arka.
"Aku tidak akan mungkin bisa melupakan, tapi aku jadikan itu pelajaran. Jika aku tidak bergerak, maka aku yang akan tergilas jaman, aku yang akan tertinggal roda kehidupan yang terus berputar." Bang Arka menjawab dengan mata yang masih lurus menatap ke depan, seakan baru menemukan jawaban dari hatinya yang bimbang.
Lelaki sekelas Bang Arka saja tidak sanggup melupakan, apalah dayaku yang seperti butiran debu jika dibandingkan dengan Bang Arka. Aku mendesah.
"Kalau kamu aja sulit melupakan, apalagi aku Bang." Aku mencoba membela diri.
"Aku tidak menyuruhmu melupakan, tapi jadikan ini semua pelajaran. Cepatlah obati lukamu, bangkitlah segera. Jangan melakukan sesuatu yang sia-sia. Kenapa aku sebut sia-sia? Karena kamu gak mungkin lagi bersamanya. Kenapa gak mungkin? Karena hanya keledai yang akan jatuh di lubang yang sama. Tapi aku bisa menerima dia dengan segala kekurangannya Bang? Ah bullshit! Ketika kamu sudah tersakiti karena pengkhianatan, tak akan ada lagi kata sanggup menerimamu apa adanya! Karena apa? Karena bayangan perselingkuhannya akan terus berputar." Bang Arka bermonolog dengan penuh amarah.
Aku mendengar semua monolog Bang Arka dengan melongo. Sumpah, orang ini pembaca pikiran yang handal! Segala ucapan yang baru ia lontarkan dan ia jawab sendiri, benar-benar mewakili seluruh isi kepalaku yang tak sanggup ku ungkapkan.
Aku tertunduk dalam diam. Meresapi setiap kata yang diucapkan Bang Arka. Seluruhnya benar. Atau ku pikir mungkin saja benar. Karena aku masih tak sanggup membayangkan masa depan apa yang akan aku jalani. Yang jelas, saat ini hatiku masih dipenuhi cinta seorang Danen. Cinta yang berbalut luka. Sebuah cinta luar biasa yang selaras dengan luka yang terus menganga. Hanya saja saat ini otakku mulai sedikit meresapi setiap kata dari Bang Arka. Otakku mulai berkata, lupakan segalanya, lepaskan saja dia, karena seorang Mikhayla sangatlah berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...