SERATUS LIMA BELAS

36 6 0
                                    

"Bi, siapa nama Bibi?" Aku coba memecah keheningan di dalam kamar saat ini.

"Panggil saja Bi Minah non. Ini pasti Non Mikha kan?" Bi Minah balik bertanya.

"Eh benar bi."

"Rumah ini jadi hangat lagi sejak den Arka mengenalkan non ke Bapak dan Ibu."

"Mengenalkan Kay? Kapan Bi? Kan Kay baru sekali ini kesini."

"Tapi beberapa bulan ini den Arka sudah mengenalkan non Mikha. Bibi aja ngerasa udah kenal banget sama non. Terlebih beberapa minggu ini saat den Arka sering pulang ke rumah ini lagi. Wuih, rumah ini isinya selalu cerita tentang non Mikha. Rasanya udah lama Bibi gak lihat den Arka tersenyum lagi."

Antara malu dan tersanjung saat mendengar Bi Minah bercerita. Apa benar seperti itu?

"Emangnya dulu gimana Abang bi?" Aku sedikit penasaran tentang masa lalu lelakiku itu. Ah bukan sedikit, tapi sangat penasaran.

"Bibi ikut kerja sama Bapak udah lama non. Bisa dibilang, sejak dulu Bibi tinggal disini. Bibi tau den Arka mulai dari bayi." Bibi tersenyum, matanya tampak menerawang menatap langit-langit kamar.

Sejak bayi? Yang benar saja! Kenapa wajah bi Minah terlihat sangat muda begini?

"Masa sih sejak Abang bayi Bi? Tapi Bibi masih kelihatan muda banget lho." Akhirnya mulutku tak bisa menahan rasa penasaranku.

"Iya non. Dulu Bibi dicerai suami Bibi waktu umur 18 tahun. Lalu kerja disini gantikan Ibu bibi yang sebelumnya kerja disini juga."

What? 18 tahun dan sudah cerai? Astaga! Aku saat ini yang sudah 19 tahun saja, masih galau dengan kelanjutan hubunganku.

"18 tahun Bi?" Suaraku setengah tercekat.

"Di desa bibi biasa non. 12 tahun udah pada nikah."

Aku semakin melongo mendengarnya. Ada juga ternyata sisi lain di dunia ini yang seperti itu. Di saat aku masih berlarian dan bersenang-senang dengan teman, di sisi lain ada teman sebayaku yang sudah menempuh kehidupan barunya sebagai seorang istri. Ah, aku tak sanggup membayangkannya.

"Bibi gak menikah lagi setelah itu?" Jiwa kepoku mulai meronta-ronta.

"Pernah sama Bapak dijodohkan, tapi rasanya bibi trauma non. Dulu bibi dibohongi, bilangnya bibi istri pertama ternyata bibi cuma dijadikan penghangat ranjang. Istrinya sudah ada 2 dan bibi yang ketiga. Biasa non, tuan tanah di desa bibi seperti itu." Bi Minah tampak tertawa mencemooh jalan hidupnya.

"Tapi kan gak semua lelaki sebrengsek suami bibi dulu." Aku sok memberi nasihat.

"Biarlah non. Bibi senang sendiri seperti ini. Ditambah dulu bibi juga ngasuh den Arka. Wuih, bibi sampai lupa nyari pasangan. Mana Bapak dan Ibu baiknya gak ketulungan non. Jadi bibi sama sekali gak kepingin nikah lagi. Begini aja Bibi udah bahagia banget." Aku melihat ketulusan dari setiap ucapan bi Minah.

Memang kadar kebahagiaan tiap orang berbeda. Ada yang mencarinya dengan jalan yang benar. Namun tak jarang pula yang mendapatkannya dengan saling menyikut. Tinggal pilih saja mana jalur yang akan di tempuh.

Aku selalu mengingat ucapan Papa. Kata Papa, jika ingin terbang tinggi dan meraih kebahagiaan, maka raihlah tanpa saling menjatuhkan. Berbahagialah tanpa menyakiti hati yang lainnya.

Aku teringat posisiku saat ini. Segala rasa hatiku tidak selaras lagi dengan logikaku. Meski berkali-kali Bang Arka menegaskan bahwa ini bukan kesalahanku, namun ada sebersit ketakutan menyelimuti hatiku.

Kami menjalin hubungan saat statusnya masih sah sebagai suami Adinda. Meski aku tahu, rumah tangganya tidak semulus jalan tol. Ada kerusakan yang menggerogoti dari dalam rumah tangga Bang Arka sendiri.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang