TIGA PULUH TUJUH

42 5 0
                                    

"Kak, nanti kakak turun dulu ya baru Kay ikutin dari belakang. Ntar jalannya agak jauhan aja." Aku memberi usul pada Aldrich saat dia sudah memarkir mobil.

Aldrich langsung memandangku dengan tatapan masam. Dih, kenapa lagi dia? Tidak terima? Lha, daripada aku jadi cibiran banyak orang. Lebih baik jaga jarak aman.

"Hah, kayak apa aja sih Kay. Emang kenapa sih?" Aldrich protes.

"Kay gak mau Kak, kalau teman-teman ngira yang aneh-aneh. Kay belum siap mental kalau ada yang ngelabrak Kay lagi." Ujarku asal.

"Lagi? Jadi sebelumnya kamu udah pernah dilabrak? Sama siapa?" Aldrich memicingkan matanya, bertanya dengan wajah yang sulit diterka.

Astaga naga! Mulutmu Kay. Kenapa selalu jadi masalah sih. Rem sedikit dong! Aku merutuki diriku sendiri. Kenapa juga selalu keceplosan?

"Eh bukan gitu Kak, maksudnya...ah gak tau lah. Pokoknya Kay gak mau kena masalah aja lah." Aku berusaha menghindari pertanyaan jebakan dari Aldrich. Hah, kenapa dia peka sekali sih?

"Ya udah terserah kamu. Lagian anak-anak gak bakalan protes, mereka taunya kamu habis kena hukuman. Dan lagi, sekarang mereka kumpul di depan jurusan, dengerin pengumuman dari kemahasiswaan. Bentar lagi penutup dari panitia." Aldrich akhirnya mengalah.

Aku menatap keluar mobil, mencari petunjuk dimana teman-temanku berada. Ku longokkan kepalaku tapi tetap saja tak terlihat.

"Udah jangan kayak gitu, jadi jerapah ntar. Mana ponselmu?" Pinta Aldrich tiba-tiba.

"Buat apa?" Tanyaku dengan nada sewot.

"Buat nyimpen nomorku lah, apa lagi?" Aldrich tak mau kalah.

"Idih, emang aku mau ngasih nomorku sama Kakak. Dasar kepedean!" Sindirku.

"Ya udah, gak masalah. Berarti kalau waktunya penelitian ke kebun teh, jangan ikut ya! Batal perjanjian kita!" Sergah Aldrich yang sontak langsung membuatku membelalak.

Ancamannya sangat luar biasa...tepat sasaran.

"Iya, iya.. Gitu banget ngomongnya. Nih masukin." Ujarku sambil menyodorkan ponselku.

Aldrich menatapku heran. Aku sangat tahu alasannya. Namun tangannya tetap terulur mengambil ponselku.

Aku terlalu malas untuk memasukkan nomornya. Jadi ku biarkan Aldrich menyentuh ponselku dan memasukkannya sendiri. Bagiku, ponsel hanyalah ponsel, barang pribadi yang tidak terlalu pribadi toh di ponselku tak ada apapun yang terlalu rahasia.

"Kodenya?" Tanya Aldrich.

"Gak pake kode atau kunci macam-macam. Ori tuh!" Sahutku yang langsung dihadiahi pelototan dari Aldrich.

"Ceroboh! Pakai kode dong." Gerutu Aldrich.

"Gak ada yang penting dan gak ada yang vulgar di ponselku. Semua aman dan tanpa rahasia." Jawabku asal. Aldrich hanya menggeleng pelan sambil memberiku senyuman.

"Wow.." Seru Aldrich tak lama setelah membuka ponselku.

"Apa?" Tanyaku tak acuh.

"57 panggilan tak terjawab dari Bang Arka." Aldrich membaca tampilan layarku. Aku sudah mengganti nama kontak Bang Arka saat terakhir kali kami bertemu, aku ingin melihat dan mengucap terus nama itu sekedar untuk menghalau rindu.

Deg.. Deg.. Deg..

Degup jantungku langsung terpacu dengan kencang. Entah kenapa, setiap mendengar atau menyebut nama keramat itu, rasanya debaran jantungku menjadi bereaksi tak normal.

"Kamu punya utang sama Bang Arka? Siapa sih dia?" Aldrich menatapku penuh tanya.

Aku balas menatapnya. Meresapi sorotan matanya yang tajam. Aku tidak mungkin mengatakan semuanya. Aku tidak mungkin menceritakan hal ini padanya. Aku masih belum terlalu percaya pada siapapun. Bahkan Mama Papa pun tak tahu tentang ceritaku dan Bang Arka.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang