DUA PULUH SATU

46 6 0
                                    

"Bang, aku lapar." Aku membuka suara, setelah lelah menangis.

"Kamu membuang sia-sia tenagamu untuk menangis. Ayo, kita cari makanan dulu. Mau makan di sini atau turun dulu?" Tanya Bang Arka.

"Kalau di sini aja gimana Bang? Sambil liat yang seger-seger gitu. Tapi, bayarin aku ya Bang. Kan tadi Abang yang geret aku kesini." Rayuku sambil memamerkan puppy face andalanku.

Ku lihat Bang Arka memutar matanya kemudian menggelengkan kepala. Aku tertawa melihat ekspresinya. Kamu menggemaskan sekali Bang!

Aku tersentak, kaget dengan hatiku sendiri yang memberi pujian untuk makhluk jadi-jadian di hadapanku ini. Jadi ingin marah, jadi ingin tertawa dan jadi ingin menangis. Hahaha aku tertawa dalam hati mendengar lelucon yang ku lontarkan sendiri.

"Tapi kalau di sini, hanya ada mie instan lho, kamu mau?" Tanya Bang Arka.

"Wah cocok. Ayo berangkat Bang." Jawabku penuh semangat.

"Lha, mana Mikha yang beberapa saat lalu terlihat hancur kayak ga ada semangat hidup? Baru diajakin makan mie instan aja langsung semangat. Tau gitu dari tadi langsung Abang beliin mie sekardus ya?" Bang Arka menyindir ku, sambil alisnya bertaut.

"Hehehe di rumah gak pernah boleh makan mie instan Bang. Mumpung ini gak di rumah dan ada yang nawarin, apalagi di traktir, jadi ya ayo aja Bang." Aku tertawa.

Hening.

Bang Arka menatapku dalam. Matanya seakan menyelam tepat di mataku. Mencoba mencari sesuatu yang aku pun tak tahu. Aku terdiam, pandanganku terkunci pada mata elangnya. Aku ingin berpaling, tapi sungguh pesona mata Bang Arka sudah membiusku.

"Kamu cantik kalau tertawa seperti ini, Mikha." Bang Arka berkata.

Deg.
Deg.
Deg.

Tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat mendengar pujian dari Bang Arka. Oh ada apa ini? Degupannya sungguh tak wajar. Aku langsung merasakan sekujur tubuhku panas, aku yakin wajahku sudah memerah saat ini.

"Jangan puji aku Bang. Nanti aku minta lebih lho traktirannya." Ujarku asal, berusaha mengalihkan perhatianku dari wajah Bang Arka. Wajah teduh yang menghanyutkan aku beberapa saat lalu.

"Pulang dari sini, aku antar kamu membeli mie instan sekardus." Janji Bang Arka.

"Serius Bang? Wah asyik! Eh tapi mau ditaruh di mana Bang? Bisa disate Mama kalau sampai tau aku punya puluhan mie instan." Jawabku ragu.

"Taruh di rumah Abang, nanti kalau pingin makan, kamu tinggal datang." Bang Arka memberi ide yang sungguh sangat...

Tak terduga.

"Apa Bang? Ke rumahmu cuma mau makan mie instan?" Aku berteriak.

Sekelebat bayangan diarak oleh massa tiba-tiba menyusup di otakku. Aku bergidik.

"Kenapa? Apa yang kamu pikirkan? Heh cuci otak sana, makin ngeres aja tuh mikirnya." Bang Arka menoyor kepalaku.

"Ih siapa juga yang mikir ngeres Bang. Aku tau-tau kepikiran diarak keliling kampung sama warga sana. Gara-gara datengin rumah suami orang." Aku jujur menjawab.

Seketika Bang Arka terdiam. Ku tatap dalam matanya. Ah sesuai dugaanku Bang, pedihmu masih tersisa. Dengan sangat jantan kamu mengatakan ini itu tentang penyembuhan luka hati. Namun apa ini? Bahkan kamu tak sadar, jika hatimu juga masih terdapat luka yang menganga.

"Sudahlah, ayo kita cari makan." Bang Arka memutuskan tidak memperpanjang debat denganku.

Kami pun berjalan beriringan, menuju sebuah kedai yang berjajar di sekitar tempat parkir kendaraan. Entah keberanian dari mana yang ku dapatkan, tanpa aba-aba aku langsung mengikatkan jemariku di atas jemari Bang Arka. Ia terlonjak dari langkah kakinya. Seketika itu juga Bang Arka berhenti. Tampak jelas wajahnya penuh kebingungan dan tatapan tidak mengerti.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang