ENAM PULUH

39 4 0
                                    

"Brengsek, apa maksud kamu Kay?" Amarah Cindy makin tak terkendali.

Baiklah, ini saatnya.

"Kamu mau menjadi penengah antara aku dan Danen, hah? Maksudmu, kamu menjadi penengah dengan cara menggantikan aku naik ke tubuh kekasihku saat malam kelulusan kita di Vila saat itu. Benar seperti itu kan Cindy? Apa enak berada dibawah tubuh kekasihku? Atau kamu lebih suka di atasnya? Apa itu hangat dan bisa memuaskanmu? Kamu sungguh tak tahu malu!" Aku memuntahkan semua kekesalan yang selama ini ku pendam sendiri.

Lega rasanya. Tanganku tanpa sadar terkepal, dan Aldrich mengusapnya lembut. Aku merasakan ketulusan dalan usapannya. Hangat dan nyaman, itu rasa tangannya saat ini.

"Kamu--" Ucapan Cindy terhenti. Ia menatap wajahku dengan mata merahnya. Ah skakmat! Dia tak tahu aku melihatnya malam itu.

"Kenapa? Aku kenapa Cin? Iya, aku melihatnya malam itu. Aku kembali ke vila dan melihat tingkah menjijikkan kalian. Jadi mulai sekarang, jangan lagi menghubungiku. Kalian berdua, lanjutkan lagi saja jalinan kisah kalian. Jangan coba-coba lagi menjadi penengah antara aku dan Danen. Aku sudah jijik menjalin hubungan dengan barang bekas. Dan aku juga jijik menjalin persahabatan denganmu, si munafik." Cercaku dengan suara yang ku buat setegas mungkin.

Cindy berusaha berjalan mendekatiku.

"Kay, maafkan aku. Malam itu aku--" Ucapan Cindy langsung ku potong.

"Gak usah minta maaf. Aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk menjalin hubungan dengan kalian lagi, maaf, aku gak bisa. Jadi mulai detik ini, kita lalui jalan kita masing-masing. Terima kasih untuk kebersamaan selama tiga tahun ini. Aku tak menyesal mengenal kalian karena dari kalianlah aku mendapat banyak pelajaran." Ucapku sambil membalik badan.

"Kay tunggu!" Danen yang berteriak.

"Kay urusanku sekarang. Jaga jarak kalian, dan jangan mengganggunya lagi." Aldrich yang menjawab.

Tangannya langsung menarik tanganku dan membawa ke mobilnya. Kami masuk bersama ke dalam mobilnya yang langsung dilajukan Aldrich menuju jalanan menanjak ke arah kebun teh.

"Jadi dia wanita yang bersama kekasihmu malam itu? Luar biasa tak tahu malu!" Geram Aldrich saat kami terdiam beberapa saat di dalam mobil.

Aku tak menyahutnya. Mataku menerawang menatap pemandangan diluar jendela. Aku masih berusaha menata hatiku. Rasa lega dan sakit kembali menderaku.

Lega karena sudah mengungkapkan semua yang ku pendam selama ini. Sakit karena mengingat lagi kejadian malam itu. Sakit saat mengingat ada wanita tanpa berbusana berada dibawah kukungan lengan kokoh kekasihmu yang juga tanpa busana.

"Menangislah jika itu bisa meredakan amarah dan kecewamu. Menangislah di hadapanku Kay." Ujar Aldrich lirih.

Aku menatap wajah Aldrich dengan nanar. Aku merasa bersalah juga padanya. Saat menyadari aku tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan.

Ku tundukkan kepalaku dalam, air mataku menetes deras. Ku rasakan mobil sudah berhenti. Entahlah dimana kami saat ini.

Lengan kokoh Aldrich merengkuh tubuhku. Aku semakin bergetar dibawah pelukan Aldrich. Tangisku pecah tak terkendali. Aku meraung-raung memuntahkan semua kekesalanku selama ini. Entah mana yang paling membuatku kesal. Apa karena Danen, Cindy atau justru Bang Arka? Sepertinya semuanya menyatu untuk menggerogotiku dari dalam.

"Menangislah, selesaikan sakit hatimu. Aku ada untukmu." Bisik Aldrich sambil mengusap punggungku.

Entah berapa lama aku menangis hingga aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Aku tersadar lagi saat tahu tubuhku sudah berada di kursi belakang dengan paha Aldrich sebagai bantalan.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang