SEMBILAN PULUH TIGA

33 6 0
                                    

Plaaaaakkk..

Bunyi benturan benda terekam di telingaku dengan cepat dan diikuti dengan rasa sakit yang kembali datang. Rasa perih yang diakhiri dengan nyeri, menjalar hingga ke seluruh leher dan kepalaku.

"Kay!!" Aldrich dan Winda terdengar memanggilku dengan bersamaan.

Entah apa yang terjadi berikutnya, aku tak begitu ingat. Yang ku tahu tubuhku telah direngkuh Aldrich dan Winda sudah ada di depanku.

Terima kasih sahabat! Kalian melindungiku dengan maksimal.

Aku sudah tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Sungguh sangat memuakkan dan memalukan. Aku terdiam dalam pelukan Aldrich saat mereka memapahku keluar dari gedung jurusan setelah beberapa petugas keamanan berhasil memisahkan kami dengan Adinda. Entah dibawa kemana Adinda dan anaknya tadi.

Namun sesaat sebelum kami pergi dari jurusan ini, aku mengingat Aldrich berujar dengan penuh kemarahan. Suaranya tajam dan sangat keras.

"Melihat kejadian ini, saya yakin, dosen saya orang terhormat. Entah apa alasannya dulu bisa bersama anda, tapi saya yakin itu semua adalah kesalahan. Tanpa bertanya pada suami dan Kakak saya yang sangat mengenal anda, saya sudah tahu bagaimana orang seperti anda itu."

Suara Aldrich tadi juga langsung mendapat sahutan dari Winda yang tak kalah ganas dalam berucap.

"Pantas Bang Arka meninggalkan anda. Selain kelakuan anda yang buruk, saya jadi tahu jika yang dikatakan Kak Ken dan Kak Gilang kemarin benar adanya. Saya pun sangsi, jika anak itu adalah anak kalian. Saya jadi merasa kasihan dengan Bang Arka, dia benar-benar sudah ditipu oleh anda!" Entah karena geram atau kesal, bahasa Winda mendadak ikut terdengar sangat formal.

Mereka kemudian membawa tubuh linglungku entah ke mana. Aku hanya terdiam sambil menatap pepohonan di pinggir jalan yang seakan berlari menjauh dari kami. Pikiranku berkelana jauh meninggalkan ragaku.

Aku juga tidak tahu berapa lama ini sudah berlangsung. Aku hanya diam dan diam. Hingga akhirnya ucapan Aldrich membuyarkan lamunanku saat tangannya menyentuh bahuku dengan lembut.

"Kay, turun yuk. Kita udah sampai." Lirih Aldrich bersuara.

Mataku berputar mencoba melihat keadaan sekitar. Kami telah berada di sebuah perkebunan sayur yang cukup luas. Ada beberapa bangunan di sebelah Aldrich memarkir mobilnya.

"Kita di mana ini Kak?" Tanyaku.

"Ini di laboratorium dan lahan perkebunan milik jurusan Pertanian." Aldrich menjelaskan.

Wow, aku bahkan baru tahu jika tempat seperti itu ada.

"Ada juga ya tempat kayak gini Kak?" Wah aku sehati dengan Winda, dia menyuarakan keingintahuanku juga.

Mataku masih beredar pada keadaan sekitar saat kulihat papan nama yang menyatakan lahan itu milik jurusan pertanian di Universitas tempat ku menuntut ilmu.

"Ada dong. Mereka kan butuh lahan untuk mengembangkan tanaman mereka. Saat mereka sudah menemukan varietas baru, maka akan menanam dan mengujinya langsung di tempat ini." Aldrich kembali memberi penjelasan.

"Kok kamu tau aja sih Kak?" Aku semakin penasaran.

"Ketua himpunan mahasiswa pertanian adalah teman baikku. Dia sering mengajak ku kesini."

"Oh." Aku dan Winda saling beradu membulatkan mulut kami.

Aldrich terkekeh mendengar semua itu. Dia kembali mengajakku keluar dari mobil. Kami bertiga keluar dari mobil dan memandang hamparan perkebunan sayur dan tembakau yang sangat luas.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang