TUJUH PULUH

43 5 0
                                        

"Saya tidak tahu yang lainnya. Yang saya tahu, saya sedang menjaga komitmen saya dan saya harap dia juga menjaga komitmen yang sudah dibuat dan disepakati bersama." Jawaban Bang Arka membuat aku dan Aldrich melongo.

Belum sempat Aldrich membalasnya, lift yang kami tumpangi berhenti di lantai 4. Tentu saja itu membuatku gembira, tapi sepertinya tidak untuk Bang Arka.

"Saya duluan. Mikha, bergegas. Telat masuk kelas saya 10 menit, jangan harap bisa mengikuti kelas saya." Pamitnya pada kami dengan suara yang dingin tanpa melihat wajahku.

Hah, bisa dipastikan sekarang dia sangat marah! Lagi-lagi dia memakai kekuasaan dan jabatannya. Sial. Kenapa juga jam pertama kuliahku hari ini harus diisi oleh Bang Arka? Dan harus bertemu dengannya di lift pula dalam pose yang sangat merugikan aku! Jika tidak dalam kondisi sedang menjalani perjanjian yang telah disepakati bersama orang tuaku, aku yakin lelakiku itu akan langsung menyeretku dan menceramahi aku dengan segala macam larangan dan peraturan baru yang dibuatnya.

"Kay, apa maksud Pak Fabian tadi?" Suara Aldrich membawa kesadaranku kembali.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali lalu dengan tak acuh melangkahkan kaki lebih cepat meski tertatih.

"Buruan Kay. Telat gak boleh masuk lho." Aldrich semakin memperkuat lilitan tangannya di bahuku sambil menahan tawanya. Aku yakin dia pasti sedang menertawakan aku sambil mengingat ucapan Bang Arka tadi. Dengan kakinya yang juga terluka, dia lebih mampu berjalan dengan cepat dibanding aku hingga dia terlihat memapahku. Hmm memang dia memapahku sih.

Cih, dasar! Ini sih namanya, menjerumuskan aku ke lubang hitam.

"Kak Al, Kay mau masuk. Ini lengannya kenapa sih nyampir di bahu terus? Berat tau kak!" Gerutuku sambil berusaha melepaskan lengan Aldrich yang mirip lilitan gurita.

"Gak akan aku lepasin. Takut jatuh lagi." Sindir Aldrich dengan suara tawanya. Aku merengut.

"Kay, pokoknya nanti ku jemput ya. Kita lepas gips barengan." Ujar Aldrich setibanya di depan kelasku.

Hah seniorku itu bahkan mengantarkanku sampai depan kelas. Aku tidak menjawab ucapannya dan langsung masuk kelas. Namun baru beberapa langkah, kakiku terhenti secara otomatis saat telingaku menangkap suara teriakan yang terdengar lumayan kencang.

"Sayang, belajar yang rajin ya. Dengerin dosennya, jangan sibuk mikirin aku. Jangan khawatir, bentar lagi kita ketemu lagi kok. Bye sayang." Suara Aldrich lah yang terdengar super kencang tepat di depan pintu kelasku yang terbuka, tentu saja sambil melambaikan tangannya dengan wajah manis yang terlalu dibuat-buat. Meski ku akui, wajahnya memang tampan dan ada manis-manisnya gitu. Ah sepertinya dia sengaja membuatku malu!

Sontak saja seluruh teman sekelasku langsung memberiku sorakan yang membuat riuh suasana. Aku hanya bisa menyembunyikan wajahku dengan menunduk lebih dalam dan mempercepat langkahku meski itu sia-sia saja. Ah gips sialan!

Hal pertama yang ku lakukan saat aku mencapai tempat dudukku adalah melirik ke arah depan kelasku. Wajah dingin itu terlihat lebih dingin. Rahangnya mengeras dengan tangan yang sibuk menekan-nekan keyboard laptopnya. Ia tampak sibuk di depan sana. Entah apa yang dipikirkannya. Namun satu keyakinanku, hatinya sedang diliputi amarah dan kecewa.

Ya, aku lagi-lagi mengecewakannya, entah sudah berapa kali ku lakukan itu padanya. Bang, sungguh bukan inginku seperti ini! Wajah tampan dosen sekaligus kekasihku itu hanya bisa menunduk. Mungkin menyembunyikan kekesalannya terhadapku dan Aldrich.

"Sudah belum nyorakinnya? Kalau belum saya tunggu nih." Ujar Bang Arka dari depan kelas sambil matanya menyusuri wajah teman-temanku. Suaranya dingin dengan wajah yang dipasang sedatar mungkin meski ada sedikit senyum disana.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang