Jantungku terus berpacu, seakan aku telah melalui pertandingan marathon seharian penuh. Aku sesekali mencuri pandang ke arah depan, tepat pada sosok dosen pembimbing akademikku yang sedang menerangkan entah apapun itu.
Sungguh telingaku sudah tidak bisa digunakan untuk mendengar penjelasannya, otakku tidak mampu mencerna semua perkataannya. Aku hanya mengingat suara yang sudah membuatku melongo sedari tadi. Aku hanya mengingat tatapan tajam yang membuatku bergidik.
"Kay, kamu kenapa?" Aldrich menyikut lenganku pelan.
"Hah?" Aku tersentak, kaget mendengar sapaan pelannya. Aku mengerjapkan mataku, mencoba memfokuskan pikiran dan pandanganku.
"Tanganmu dingin banget. Apa kamu masih tegang? Tenanglah, semua aman sekarang!" Aldrich berusaha menenangkanku. Ia menggenggam tanganku dan menggosoknya perlahan untuk membuatku tetap hangat.
Ah Aldrich, andai kamu tahu, yang membuatku tegang bukanlah kejadian tabrakanku tadi. Tapi ketegangan ini berasal dari tubuh yang sedang berdiri di depan kita saat ini.
"Makasi." Aku berusaha menarik tanganku yang digenggam Aldrich saat melihat tatapan dosen pembimbingku yang mulai terlihat sangat tidak bersahabat.
Sesaat aku bingung, entah alasan apa yang membuat aku menjadi takut jika dia melihatku bergandengan tangan dengan lelaki lain. Bukankah itu hakku untuk berteman dan bergandengan tangan dengan siapapun? Aku sedang sendiri dan Aldrich juga sepertinya sendiri. Jadi sangat wajarkan?
Namun entah bagaimana, aku merasa aku harus menjaga hatinya. Hah ini sungguh kekonyolan yang hakiki.
"Aldrich dan Mikha. Datang ke ruanganku setelah ini." Samar aku dengar dosen pembimbingku mengatakan hal ini. Namun aku ragu, apa telingaku sedang bermasalah?
Mungkin bukan telingaku yang bermasalah, tapi otakku yang bermasalah. Ah atau mungkin hatiku yang bermasalah. Entahlah.
"Baik Pak." Suara Aldrich seakan memperjelas bahwa pendengaranku ternyata benar.
Dia memanggilku. Memanggil kami. Entah apa tujuannya. Aku tak sanggup untuk memikirkannya sekarang. Aku.. Aku.. Aku benar-benar takut.
Aku takut menghadapi kenyataan ini. Aku masih takut menemuinya. Aku takut jika Aldrich atau teman-temanku mengetahui ceritaku dengannya. Aku takut jika yang selama ini ku sembunyikan akhirnya ketahuan.
"Ayo Kay." Suara Aldrich membubarkan lamunanku.
Aku menatap tubuhnya yang sudah berdiri dengan bingung. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kemana semua teman-temanku tadi? Mengapa kelas ini sudah kosong?
"Apa?" Tanyaku dengan bingung.
Aldrich tersenyum menatapku. Dengan lembut dia menangkup pipiku.
"Kamu benar-benar belum pulih. Masih terkejut? Tenang Kay. Kamu aman, semua aman dan kamu udah di kampus. Sekarang, ayo ikut aku." Aldrich menjelaskan semuanya dengan sabar. Namun tatapanku masih kosong. Aku seperti masih mengumpulkan nyawaku yang tercecer.
"Ikut ke mana?" Aku masih kebingungan.
"Kita dipanggil Pak Fabian. Ayo ikuti aku ke ruangannya." Aldrich menjelaskan dengan wajah teduhnya. Tangannya terulur untuk menggandengku lagi. Aku membiarkannya.
Otakku masih memikirkan semua kebetulan ini. Aldrich menuntunku ke ruangan dosen pembimbing akademik kami.
Pak Fabian.
Aku berjalan dengan deru jantung yang terus berpacu. Pak Fabian. Nama asing namun wajahnya tak asing untukku.
Fabian ya? Ah Kay, kenapa juga kamu tidak pernah tanya, siapa nama lengkapnya? Di mana tempat kerjanya? Kamu sibuk menata hatimu, hingga logikamu tidak kamu gunakan. Aku terus merutuki kebodohanku.
"Silakan masuk." Suara dari dalam sebuah ruangan terdengar nyaring.
Astaga, bahkan aku tidak sadar sudah sampai di depan ruangan Pak Fabian. Otakku rasanya benar-benar kosong. Untunglah tadi Aldrich menuntunku.
"Kak Al, aku takut." Aku berusaha jujur pada Aldrich tentang perasaanku saat tangannya sudah menggenggam gagang pintu.
Ia tersenyum hangat sebagai balasan.
"Ikuti saja aku, maka aku tak akan membiarkan kamu ketakutan."
Aku ingin mempercayai Aldrich, namun tubuhku mengkhianatiku. Degup jantungku masih bertalu. Telapak tanganku masih terasa dingin.
"Tapi Kak.." Aku ingin membantahnya, tapi genggaman tangan Aldrich mematahkannya.
Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari perlindungan dari sana. Baiklah, aku akan mengikutimu, Kak Al, karena aku sejujurnya belum cukup berani menghadapi sosok yang menunggu kita di balik ruangannya.
"Permisi Pak." Aldrich menyapa, saat kepalanya sedikit masuk ke dalam ruangan Pak Fabian.
"Masuklah Al." Dia menjawab. Suara itu! Suara yang sangat aku kenal baik. Suara yang beberapa hari ini kembali ingin merobohkan pertahananku. Suara yang aku rindukan.
"Baik Pak." Aldrich menjawab sambil masuk ke ruangan itu. Aku mengekorinya dalam diam.
"Duduklah." Dengan ramah dia mempersilahkan kami, namun matanya nyalang saat menatapku.
Habis sudah kamu, Mikhayla! Kamu masuk ke kandang macan dengan kesadaranmu sendiri. Ini teritorialnya dan kamu mangsa empuknya.
Aldrich dan aku mendudukkan diri kami di sofa yang ada di ruangan itu. Diikuti Pak Fabian yang juga ikut duduk di seberang kami.
Mata elang Pak Fabian menatap kami bergantian. Sorot yang tajam penuh dengan pertanyaan dan entah perasaan apa yang aku lihat di matanya. Aku hanya mampu menahan hatiku sekuat mungkin.
Aku harus menahan hatiku untuk tidak menatapnya. Aku harus menahan hatiku untuk tidak menangis di hadapannya. Dan aku harus menahan hati dan tubuhku untuk tidak menghambur ke arahnya.
Aku sungguh tidak ingin dia tahu, bahwa aku sedang merindu.
"Jadi, ini kekasihmu yang kamu ceritakan tadi, Al?" Pak Fabian tersenyum saat bertanya pada Aldrich.
Namun entah mengapa, telingaku menangkap pertanyaan tadi hanya sebagai sebuah ironi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomansaSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...