TIGA PULUH ENAM

45 6 0
                                    

"Setelah ini langsung balik kampus kan Kak?" Tanyaku sesaat setelah kami mengambil sampel di laboratorium kebun teh yang kami datangi.

Sekarang aku sedang berjalan di sekitar kebun teh, menuju tempat parkir mobil.

"Kamu mau jalan-jalan lihat kebun dulu?" Aldrich menawariku.

"Hmm acara kampus gimana, Kak? Kalau balik sekarang, kebarengan sama temen-temen selesai gak?" Tanyaku sedikit ragu.

"Emang kenapa sih?" Aldrich menatapku, meminta penjelasan dari pertanyaan anehku.

"Ya, aku kan gak mau dibilang gimana-gimana gitu Kak. Udah seharian gak ikut acara, eh sampai kampus ketahuan jalan bareng Kak Al. Duh Kak mau ditaruh di mana mukaku!" Aku bergidik membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Aldrich menghentikan langkahnya dan menatapku dalam. Aku ikut berhenti dan membalas tatapannya.

"Apa kamu malu jalan denganku, Kay? Apa aku segitu gak pantasnya jalan sama kamu?" Aldrich menanyakan sesuatu yang membuatku langsung melongo.

Wahai senior tampan yang terhormat, bagaimana bisa kamu menanyakan pertanyaan aneh macam itu? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan hingga muncul kesimpulan seperti itu?

"Apa, kamu masih gak mau sampah itu melihatmu jalan bareng orang lain?" Aldrich terus saja mengajukan pertanyaan yang memancing.

Aku menggelengkan kepala. Mencoba menahan tawa dan rasa terkejutku.

"Bukan gitu, Kakak DISMA yang hebat! Astaga, Kak Al! Bisa-bisanya sih ngomong gitu? Pakai bawa-bawa sampah itu!" Aku memajukan bibirku, kesal dengan pertanyaan konyol yang diajukan Aldrich.

Aldrich hanya memandangku. Terlihat jelas dia tidak puas dengan jawabanku.

"Kak, bayangin coba, apa yang dipikirkan teman-teman seangkatanku kalau tau aku yang tadinya 'hilang' saat akan menerima hukuman eh tau-tau muncul di jurusan bersama Kakak yang notabene adalah ketua DISMA!"

"Kakak yang selalu menghukumku, kakak yang selalu mencari kesalahanku dan kakak yang lebih sering terlihat menyiksaku. Apa kata mereka jika mereka lihat kita berdua seperti ini? Apalagi jika mereka melihat kita ada disini sekarang! Aduh, Kay gak mau bayanginnya, Kak. Serem Kak! Bisa kena hujat seangkatan aku tuh!" Aku terus mencerocos tanpa henti.

Ku geleng-gelengkan kepalaku, mencoba mengenyahkan segala pikiran burukku. Aku yakin, seyakin-yakinnya, teman-temanku akan mengejekku, menghujatku dengan berbagai kata-kata sindirian. Aku bergidik.

Ku lirik Aldrich yang terus menatapku. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman yang indah.

"Kenapa Kak?" Aku merasa sedikit seram dilihat seperti itu.

"Sebenarnya apa sih Kay yang ada dipikiranmu? Kamu itu terlalu berpikir yang aneh-aneh. Jangan suka ambil kesimpulan yang belum pasti. Lagian, belum tentu mereka berpikiran buruk tentang kita. Coba deh kamu buka pikiranmu, ambil sisi positif dan buang yang jelek-jelek. Biar tuh otak gak mikir buruk terus!" Kata-kata yang diucapkan Aldrich terdengat lembut di telingaku, namun rasanya menghujam tepat di ulu hatiku.

Aku tertegun sesaat. Memikirkan semua perkataan Aldrich. Ah benar sekali, kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Aku coba mengingat lagi, akhir-akhir ini lebih tepatnya sejak kejadian tragis yang ku alami di malam kelulusanku, aku lebih sering berpikiran buruk terhadap semua orang.

Karena kejadian itu, aku jadi menilai semua orang dengan sama rata. Aku lebih sering menyimpulkan yang buruk dulu daripada mengambil sisi baiknya. Ah, kenapa aku baru sadar jika aku telah berubah? Astaga Mikhayla! Sadar dan kembalilah ke dirimu yang dulu.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang