DUA PULUH DUA

48 7 0
                                    

Aku masih terdiam, memandang jalanan yang menurun dari dalam mobil Bang Arka sambil berusaha meresapi setiap kata yang telah diucapkan Bang Arka.

"Melamun apa lagi kali ini?" Tanya Bang Arka mengusik lamunanku.

"IQ mu berapa sih Bang? Kok aku ngerasa tiap ngomong sama kamu, otakku gak sanggup memahami tiap kata yang kamu ucapkan. Rasanya, omonganmu itu diluar batas kewajaran yang bisa diterima manusia pada umumnya. Manusia normal maksudku Bang." Aku menjawab.

"Terus kamu kira aku gak normal gitu, Mikha? Yang bener aja! Ini tuh hanya karena otakku lebih pintar dari kamu." Bang Arka membela diri.

"Idih sombongnya. Tapi bener lho Bang, aku sampai gak paham kamu tadi ngomong apa?" Aku masih mencoba mencari tahu maksud ucapan Bang Arka tadi.

Hah, aku juga tidak bodoh Bang, aku paham maksud omonganmu, yang aku bingung tadi itu maksudnya mau dibawa ke mana arah tujuan pembicaraan dia.

"Udahlah Mikha, pengalamanmu belum seberapa, jika saatnya tiba kamu pasti bisa memahaminya segera." Bang Arka menjelaskan dengan suara lembut. Hal baru yang justru membuatku bergidik. Tak biasanya lelaki ini langsung mengalah, tanpa membantah.

Aku terus saja diam. Melihat pemandangan di luar mobil sambil mencoba menata hati. Otakku terus memikirkan hal yang sama, hal yang masih belum bisa aku tepis semuanya.

"Kita belanja di sini aja ya." Suara Bang Arka seketika membuyarkan lamunanku.

Aku mengerjapkan mata, mencari tahu keberadaan kami saat ini. Ah aku benar-benar melamun sepertinya, sampai aku tak tahu ada di mana.

"Kita di mana ini Bang?" Aku langsung bertanya.

"Masih di jalan." Bang Arka menjawab asal.

Aku mendengus dan memutar bola mataku secara dramatis, menyadari kondisi Bang Arka yang sudah kembali normal seperti sedia kala. Normal untuk ukuran Bang Arka sangatlah berbeda dengan ukuran normal manusia lainnya. Normalnya Bang Arka itu dimana setiap kata yang terucap darinya selalu membuat aku ingin menarik mulutnya. Hah..

"Hahahaha imutnya gadis ini. Abang jadi ngerasa punya mainan baru nih. Kamu tau Mikha, rasanya Abang seneng banget, Abang jadi gak mikir masalah rumit sendirian. Paling gak, ada kamu yang bisa Abang geret kesana kemari." Bang Arka berucap sambil menarik pipiku. Aarg sakit tahu Bang!!

Aku terus menatapnya tajam, hingga alisku terasa menyatu, sambil memegang pipiku yang ditariknya, aku coba berteriak pada Bang Arka, "kira-kira dong Bang nariknya, perih tau! Lagian enak aja aku bisa digeret kesana kemari, emangnya Kay bangku yang bisa dipindah-pindah."

"Hahahaha sewot! Iya maafin Abang ya. Yuk belanja." Ujar Bang Arka sambil melepas sabuk pengamannya.

Hah belanja? Buat apa? Aku mendadak bengong. Lagi-lagi bingung dengan ucapan Bang Arka. Aku mengedarkan pandanganku, ah benar juga, ini sedang di supermarket. Ih si Abang benar-benar mau belanja rupanya.

"Belanja buat apaan Bang? Ngapain aku belanja sama Abang?" Suaraku mencicit ketakutan, entah kenapa imajinasi liarku mulai mendominasi.

"Kamu mikir apa kali ini? Heh baru lulus SMA jangan coba-coba mikir yang iya-iya dong!" Wah, aku sampai melongo, takjub dengan hasil terawangan Bang Arka. Aku lupa dia kan punya kemampuan membaca pikiran.

"Abisnya Abang ngajakin belanja, emang buat apaan?" Aku masih bergeming, enggan keluar.

Bang Arka hanya tersenyum menatapku tanpa menjawab pertanyaanku. Seperti dia terhibur melihat wajahku yang entah seperti apa bentuknya saat ini. Mungkin sudah pucat pasi.

"Pakai jaketku, jangan sampai aku di kira melarikan anak dibawah umur." Bang Arka menyodorkan jaket kulitnya.

"Ogah Bang pake ini, aku kayak gangster tau Bang. Gak seru tau, gak imut lagi, ilang pesonaku dong." Aku terus mencerocos. Namun perlahan aku menghirup wangi dari jaket Bang Arka. Harum tubuhnya tertinggal. Aargh Kay, apa yang kamu pikirkan? Aku merutuki pikiran anehku.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang