TUJUH PULUH TIGA

35 3 0
                                    

Aku membuang padanganku ke luar kaca mobil, memandangi jalanan yang semakin padat. Tak ku pedulikan lagi celotehan dari mereka yang ada di sampingku.

"Gila ya, gak nyangka aku kalau Pak Fabian udah nikah. Kelihatan masih imut dan ku kira seumuran kita, Kay. Mana most wanted banget tuh buat dijadiin tambatan hati. Duh, hati adik perih Bang!" Winda yang dari tadi masih memerankan drama patah hatinya, terus saja berceloteh. Keterkejutan yang ditampakkan olehnya, terlihat sangat kentara.

Ya, Winda ada di sisi kiriku, di bangku penumpang mobil Kendrick. Karena aku tadi tak ingin membuat masalah lagi dengan Bang Arka, jadinya Winda ikut ku seret ke Rumah Sakit. Entah ini suatu kebetulan atau memang takdir sedang mempermainkan aku. Rasanya banyak sekali kebetulan yang menghampiriku. Mungkin ini ujian untukku dan Bang Arka atau memang ini bisa jadi takdir lain yang akan mempengaruhi keputusan kami kelak. Entahlah..

Tadi saat menunggu Mama menjemputku, ponselku berbunyi dan Mama mengabarkan padaku untuk langsung ke Rumah Sakit. Mama akan langsung menyusul ke sana. Siang ini, entah bagaimana ceritanya, Papa meminta Mama untuk menemaninya makan siang bersama kliennya.

Aku jadi membayangkan Papa merengek pada Mama. Hah, Papaku tak ubahnya seorang bocah saat bersama Mama. Kenapa aku bisa berpikir demikian? Karena ini bukan sekali atau dua kalinya Papa menyerobot perhatian Mama padaku. Kadang ku pikir Papa cemburu padaku dan juga Kak Farel. Miris. Tapi aku bahagia melihatnya, setidaknya, Papa dan Mama saling mencintai dan membutuhkan.

"Kak, serius Pak Fabian udah nikah? Kok aku gak pernah tau ya? Kapan nikahnya Kak?" Giliran Aldrich yang menegaskan keterkejutannya sekali lagi.

Dua orang ini, memang tampak sangat terkejut dengan berita yang baru didengarnya. Ah mereka tidak tahu saja, jika mereka tahu jika aku kekasih gelap Pak Fabian, bisa dipastikan mereka mungkin akan terkena serangan jantung saking kagetnya.

"Kalian ini, makanya kalau kuliah jangan cuma di kelas, di perpustakaan, terus pulang. Sekali-kali bentuk grup ghibah gitu. Jangan terlalu rajin lah jadi anak. Apalagi si Al nih, hidupnya cuma dihabiskan di laboratorium terus. Gak bosen memangnya? Sekali-kali asah kemampuan lainnya, Al." Kendrick menanggapi kicauan adiknya. Terdengar nada ejekan disana.

"Aku tuh beda sama Kakak. Aku gak bakalan memanfaatkan semua yang aku punya. Ini tuh berkah, jangan sampai bikin masalah terus jadi musibah!" Cerca Aldrich sambil menunjuk mukanya.

"Berkah tuh di manfaatin Al. Dijaga dan dimanfaatkan! Kan kamu bisa hati-hati, siapkan segala perangkat keamanannya, jangan sampai remnya blong!" Aku mengernyit mendengar jawaban Kendrick yang membingungkan. Ini pada ngomongin apa sih?

Aku melirik sekilas pada dua orang lelaki di depanku lalu ku alihkan lagi pandanganku ke luar jendela. Mereka tampak tersenyum dalam adu argumennya.

"Pada ngomongin apa sih sebenernya? Berkah, musibah, masalah, keamanan? Apa sih Kak?" Akhirnya Winda menyuarakan rasa penasarannya yang juga mewakili perasaanku.

"Nah, lihat kan Kak? Mereka tuh masih polos. Jangan dicemari. Kakak nih kalau ngomong suka gak disaring!" Bentak Aldrich.

"Ospek kemarin berarti berhasil ya Al?" Kendrick terkekeh.

"Makanya, nyari cewek yang bener kayak mereka tuh." Jawab Aldrich tanpa memperdulikan kebingunganku dan Winda.

"Kita kayak patung ya Kay?" Winda bersuara, sepertinya dia sudah merasa jengah karena tak dianggap.

"Iya kalian mending gitu aja, tetap polos tanpa ternoda. Jangan sampai paham yang di omongin bujang lapuk ini. Cih, hobi kok celup sana sini." Suara Aldrich mencibir kakaknya.

"Apanya yang di celup? Kak Ken jualan teh celup? Atau makanan Jepang dan Korea yang di celup-celup itu? Apa namanya ya Kay?" Winda memukul pelan bahuku, meminta perhatianku.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang