SERATUS EMPAT PULUH EMPAT

37 2 0
                                    

Ku pandangi mobil Bang Arka yang bergerak menjauh dari gedung jurusan dari kaca lobi. Hah, aku hanya bisa mendesah pasrah saat tadi Bang Arka pamit padaku.

Ada rasa kasihan yang menyusup di hatiku saat menatap wajah Bang Arka. Beban dan tanggung jawabnya bertambah. Sebenarnya aku sedikit tidak setuju saat Papa berniat menggabungkan perusahaannya dengan milik Ayah dan meminta Abang yang menjalankannya. Aku sangat yakin, hal itu akan sangat menyita waktu, tenaga dan pikirannya.

Tapi aku bisa apa? Toh aku juga enggan menggantikan Papa untuk meneruskan perusahaan itu. Harusnya itu tugas kakak tapi... Ah sudahlah, tak ada yang perlu disesali. Semua sudah takdir.

Semoga Abang selalu diberi kekuatan dan kesehatan dalam menjalankan amanah itu. Aku hanya bisa mendukungnya saja.

"Si Ibu ngelamun aja. Ada apa sih Nyonya Fabian? Baru juga ditinggal sebentar, masa iya udah kangen."

Aku membalik tubuhku saat mendengar suara yang tak asing di telingaku.

Aku mendengus sambil menjulurkan lidahku pada gadis yang tengah mencibirku itu. Segera ku tarik tangannya dan membawanya naik menuju ruang kelas kami.

"Kenapa?" Gadis itu, Winda, bertanya di saat kami sudah berada di dalam lift.

"Kasihan aja lihat Abang. Kesana kemari nurutin maunya Ayah dan Papa. Gak tega aku tuh!"

"Itu juga nantinya buat kamu Kay. Sabar aja. Yang penting kan perhatiannya gak berubah. Ya kan?"

"Iya juga sih."

Setelah itu kami terdiam hingga pintu lift terbuka di lantai empat, tempat ruang kelas kami berada.

"Kay." Winda memanggilku dengan ragu dan aku segera menatapnya dengan bingung.

Tak biasanya gadis ini bersikap seperti itu. Biasanya mulutnya los tanpa penghalang. Namun sekarang aku merasa dia tengah dilanda kegelisahan yang tak ku tahu sebabnya.

"Kenapa Win? Kamu ada masalah apa?" Tanyaku dengan segera.

Winda menatapku sekilas kemudian menarik tanganku dan membawaku masuk ke ruang kelas kami. Kini Winda memilih tempat duduk paling pojok di baris paling belakang.

"Ada apa Win? Kamu membuatku khawatir." Tanyaku dengan segera setelah tubuh kami duduk.

Winda menatapku, namun ada ragu terpancar dari matanya.

"Kalau kamu belum siap cerita sekarang, gak masalah. Kapanpun kamu siap cerita, aku selalu ada untukmu." Aku memeluk tubuh Winda dan menepuk bahunya dengan lembut.

Tiba-tiba terdengar isakan lirih dari tubuh yang sedang ku peluk. Oh gosh, ada apa dengannya? Kenapa Winda sampai menangis? Pasti ada hubungannya dengan Kendrick nih. Mengingat semalam dia menelepon Abang.

Apa yang sudah Kendrick lakukan padanya? Apa Kendrick kembali pada kebiasaan lamanya? Sial! Aku harus membuat perhitungan dengannya jika dia sampai menyakiti Winda.

"Masalah kak Ken? Bikin ulah apa lagi dia sekarang? Sini, biar aku geprek-geprek biar tau rasa dia!" Aku geram saat membayangkan Kendrick kembali pada jaman kegelapannya.

Winda masih terus terisak dalam pelukanku. Kini kami berdua sukses menjadi tontonan warga kelas.

"Ada apa?" Aku terlonjak saat merasakan tepukan di bahuku, aku sontak melihat siapa yang telah melakukannya.

Astaga! Sang mantan. Tanpa dosa dia memamerkan deretan gigi putihnya. Ish, tampannya!

Woi Mikhayla! Apa yang kamu pikirkan sih? Ingat statusmu sekarang! Dewi batinku menatap nyalang padaku. Memberiku peringatan keras pada otakku yang baru saja mengagumi sang mantan.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang