ARKA POV
Akhirnya sampai juga kami di depan rumah Mikha. Perjalanan yang terasa panjang dan melelahkan, mengingat semalam aku tidak tidur dengan baik. Bayangan tentang berbagai tulisan Farel yang ku temukan di kamarnya, seakan menari-nari di otakku.
Hah, sangat menyebalkan kalau boleh ku bilang. Benar-benar diluar akal sehatku. Bagaimana bisa dia bertingkah seperti itu?
Kami keluar rumah dan sudah disambut bibi yang bertugas di rumah. Ah aku lupa siapa namanya? Padahal Mikha sering mengatakannya. Mereka berbincang ringan atau lebih tepatnya si bibi sedang meminta maaf karena telah menutupi informasi. Mungkin jika malam itu aku tak ke rumah ini, aku juga tak akan tahu kabar itu.
Pandanganku teralihkan saat ponselku berdering. Rendi? Ada apa lagi?
"Ya." Jawabku singkat sambil membelakangi Mikha.
"Ada yang sedang cari perhatian anda, Pak. Bisakah anda ke perusahaan sebentar?" Otakku langsung bisa mencerna ucapan Rendi, yang aku yakin jauh dari urusan perusahaan.
Aku membalik badan dan menatap Mikha. Sungguh aku enggan melepas dia hari ini. Entah ada apa dengan hatiku, tapi perasaanku sangat tidak tenang.
"Baik aku segera kesana." Jawabku sambil menutup panggilan itu.
Mataku terus menatap wajah manis gadis penyihir kecil dihadapanku. Otakku sedang bekerja mencari alasan yang tepat untuknya.
"Kay, Abang tinggal dulu ya. Ada hal yang harus Abang selesaikan di perusahaan. Nanti malam Abang kesini lagi." Baiklah, seperti ini saja alasannya, toh aku pun tak berbohong.
"Masalah gawat ya Bang?" Ah ternyata gadis itu mengkhawatirkan aku.
"Tidak serius. Kamu tenang saja. Abang tinggal dulu ya. Kamu dirumah saja, jangan macam-macam dan jangan berani-beraninya keluar rumah." Mungkin karena tiba-tiba saja perasaanku jadi tak tenang jadi aku langsung pasang mode galak. Biarlah, aku hanya ingin dia aman.
Setelah mendapat anggukan dari Mikha, segera ku lajukan mobilku membelah jalanan yang menuju ke perusahaan yang beberapa tahun ini telah menjadi tanggung jawabku.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di lokasi yang sudah aku hafal dengan baik. Weekend begini perusahaan sepi, hanya segelintir orang yang sedang lembur. Mungkin banyak laporan menumpuk, mengingat ini sudah akhir bulan.
Kakiku melangkah ke ruanganku dimana Rendi tadi mengatakan akan menemuiku disana. Aku jadi penasaran, apa lagi yang ingin dilakukannya untuk menarik perhatianku kali ini. Entahlah, kemana rasa nyaman itu menguap, berganti rasa curiga.
"Ada apa Ren?" Tanyaku segera setelah aku masuk ruanganku.
Rendi yang tengah duduk di sofa depan meja kerjaku langsung mendongak saat mendengar suaraku.
"Silakan duduk dulu Pak." Ucapnya berbasa basi.
Aku mengikuti sarannya dan duduk di hadapannya sambil terus memandangi Rendi yang tampak tenang. Sial, wajah datar itu sangat sulit ku baca.
"Silakan Pak Arka baca." Rendi menyodorkan amplop coklat yang sudah terbuka.
Aku memang menyuruh Rendi membuka semua kiriman yang ditujukan untukku. Bisa dibilang, jika tak ada aku, Rendilah yang mengambil keputusan. Jadi, dia harus tahu apapun sebelum segala urusan sampai di tanganku.
Mataku membelalak saat membacanya. Damn it! Dia benar-benar melintasi batas kesabaranku. Dia sungguh ingin bermain-main denganku.
"Jalang itu mengirim ini kemana lagi?" Tanyaku dengan kasar sambil mengacungkan kertas putih berisi tulisan yang membuatku ingin muntah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...