ARKA POV
Keningku terasa berdenyut nyeri, kepalaku terasa berat. Ah rasanya aku ingin berteriak dan memaki beberapa orang. Terbang dengan kondisi seperti ini sungguh sangat tidak nyaman. Ya, kami sudah mengudara beberapa saat lalu.
Sial, aku kembali mengingat kejadian pagi tadi. Awal hariku yang semula menyenangkan berubah jadi menyebalkan saat kedatangan Adinda dan orang tuanya ke rumah Ayah saat kami makan pagi bersama tadi.
Dulu aku meminta Adinda dengan baik-baik, dan beberapa hari lalu aku sudah mengembalikan Adinda dengan baik-baik juga pada orang tuanya, lalu apa lagi yang kurang? Aku sungguh tak habis pikir!
Mau apa lagi mereka sekarang? Mengusik hidupku yang sudah mulai tenang saja. Sudah ku katakan aku tak bisa lagi hidup bersama anak perempuannya, lalu sekarang menuntut apa lagi? Harta gono gini? Baik jika itu maunya. Tapi jangan harap aku menarik gugatanku.
Dan pagi tadi mereka masih saja bersikeras memintaku memikirkan lagi gugatan perceraianku dan dengan tak tahu malunya memintaku menganggap anak itu sebagai anakku. Hah, aku belum sebodoh itu dan aku belum sebaik itu. Aku masih memikirkan kebahagiaanku sendiri.
Bodohnya lagi, wanita sialan itu justru masih bersikeras mengatakan bahwa bayi itu adalah anakku. Astaga, lelucon apa lagi ini?
Belum lagi melihat tingkah gadis kecilku yang selalu membantahku dan suka mengujiku melebihi batas kesabaranku. Belum lagi saat akan berangkat ke bandara ia dengan seenaknya memanggil namaku tanpa embel-embel apapun. Sial, dia benar-benar sangat bisa menarik amarahku.
Ku beri dia pelajaran sepanjang perjalanan kami menuju bandara. Ya, pelajaran yang ku pikir sangat menguntungkanku. Lebih baik gadisku itu melakukannya lagi, agar aku bisa memberinya pelajaran menyenangkan itu lagi dan lagi.
Hahaha dewa batinku terbahak-bahak dengan semangatnya saat menyelesaikan 'pelajaran' untuk Mikha tadi.
Bibir merah mudanya, uugggh, sungguh sangat manis dan lembut. Hangatnya membuatku begitu kecanduan akan rasanya. Rasa cherry. Sepertinya akan menjadi favoritku sepanjang masa.
Ah sial, membayangkan begitu saja membuat tubuhku menegang. Ya, aku lelaki dewasa dan normal. Aku sangat bisa merasakan itu semua dan Mikha sangat ahli memancing hasrat terliarku meski dia tak melakukan apapun. Bahkan senyum Mikha pun, bisa memicu hasratku untuk segera bangkit.
Seperti itulah keberadaan Mikha untukku. Dia candu tapi juga penenang untukku. Pembangkit gairahku. Hah. Aku sungguh harus bisa menekan egoku saat bersamanya.
"Bang," Mikha memanggilku dengan ragu, hah ternyata dia punya rasa takut juga, "berapa lama perjalanan kita?" Imbuhnya setelah melirikku.
Aku memutar kepalaku, merasa konyol dengan pertanyaannya. Tadi dia sempat melihat tiket kami, harusnya dari situ dia bisa menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di negara S. Dan lagi, ini bukan pertama kalinya dia kesana. Bahkan dia yang menceritakannya sendiri.
Aneh bukan? Atau memang dia sengaja bertanya untuk mencairkan suasana canggung yang tiba-tiba tercipta diantara kami? Hah, kamu berhasil sayang, aku memang tidak bisa mendiamkanmu terlalu lama.
"Bukannya kamu sudah mengetahui dengan baik berapa lama waktu terbang kita?" Tapi sialnya mulutku malah mengucapkan kalimat dengan sangat sinis. Sungguh ironis.
"Eh iya ding." Dia mengalihkan pandangannya ke jendela.
Hatiku tersayat melihatnya kekecewaan di matanya. Ah selain itu ada ketakutan dalam sorot matanya.
"6 jam." Ujarku lirih yang berhasil menarik perhatiannya.
"Apa?" Tanyanya dengan wajah bingung yang justru membuatku ingin mencumbunya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...