ENAM PULUH DUA

36 6 0
                                    

Aku bergeming di kamar Bang Arka. Oh entahlah kenapa aku bisa berada di sini. Biasanya aku menempati kamarku sendiri. Maksudku kamar tamu di rumah Bang Arka.

Ku lihat Bang Arka sudah masuk kamar. Ia bergegas ke kamar mandi dan berganti pakaiannya. Tanpa ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.

Kemarahannya yang hanya diam seperti ini, rasanya malah semakin memilin ulu hatiku. Perih, sesak, menyakitkan!

"Bang..." Ku coba memanggilnya, namun tak direspon sama sekali. Kini dia malah keluar dari kamar. Hah, baiklah.

Aku mencari-cari ponselku. Ah dimana benda pipih sialan itu saat aku membutuhkannya saat ini.

Tak lama Bang Arka masuk dengan semangkuk mie ditangannya. Wah sepertinya sangat enak. Baunya saja sudah menggugah selera.

"Makasi Bang." Aku mengulurkan tangan hendak menerima mangkuk yang ada ditangan Bang Arka. Tapi ternyata Bang Arka duduk di sampingku dan menyuapiku.

Hening. Tak ada suara selain suara sendok yang beradu dengan mangkuk. Ah aku benci suasana seperti ini.

"Tadi aku juga makan mie kayak gini Bang pas di kebun teh. Semangkuk berdua, ngirit dong kita Bang, kan mahasiswa." aku sedikit tertawa membayangkan siang tadi. Niatku berbicara untuk mencairkan kebekuan diantara kami.

Tapi bodohnya yang keluar dari mulutku malah hal yang seharusnya menjadi rahasiaku sendiri. Kamu ceroboh dan sangat bodoh Kay! Apa terjatuh dan berguling seperti itu membuat otakku terguncang? Ah sial! Aku merutuki kedunguanku sendiri!

Dan lihatlah ulahmu Mikhayla! Singa itu tampak sangat ingin menerkammu. Kenapa kamu membangunkan singa tidur sih? Dewi batinku meluapkan segala sumpah serapahnya.

"Sepertinya kalian menghabiskan waktu yang sangat berkualitas ya?" Sarkas Bang Arka sambil menatapku tajam.

"Eh itu--" Aku coba menjelaskan pada Bang Arka saat ku lihat tangannya terayun ke udara.

Praaaanng..

Mangkuk ditangan Bang Arka dibuang dengan keras ke arah pintu kamar. Matanya nyalang menatapku, ada binar kebencian dan amarah disana. Aku merinding melihatnya.

"Aldrich brengsek!" Umpatnya.

Aku bergidik ngeri. Wajah Bang Arka sangat menakutkan. Kemarahannya sangat luar biasa mengerikan.

"Abang." Lirih ku panggil dirinya, berharap bisa meredakan amarahnya. Sungguh aku sangat takut.

"Kamu, benar-benar mengujiku sayang. Ini terakhir kalinya kamu bersama Aldrich. Tak ada lagi kesempatan untukmu. Aku akan mencoretmu dari tim peneliti. Akan aku pastikan, kalian tidak bisa bertemu, bahkan di dalam jurusan sekalipun." Ucap Bang Arka dengan tajam.

"Kay minta maaf Bang." Lirih ku berujar.

"Aku gak butuh maafmu Mikha. Aku butuh bukti bukan janji!" Tegas Bang Arka.

"Kay bisa jelasin Bang. Ini gak sesuai yang Abang pikir." Aku masih belum menyerah mengambil hatinya.

"Apapun yang ku pikirkan, aku mendengar dan menyaksikan sendiri kalian bersama, Mikha. Dan aku tak suka dengan itu." Ucapan Bang Arka seakan memicu amarahku.

Kenapa aku harus menjaga hatinya, sedang dia tidak bisa menjaga hatiku? Dewi batinku menyuntikkan kata-kata provokasinya.

"Apa Abang kira aku suka jika Abang bersama istrimu? Tapi aku berusaha diam karena aku hanya simpananmu! Aku tak mau dan tak mungkin protes, karena aku tidak punya hak!" Bentakku pada Bang Arka yang langsung membuatnya memiringkan kepalanya. Pandangannya semakin tajam melihatku.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang