SEBELAS

76 8 0
                                        

Aku memandang dengan kagum bangunan kokoh berlantai dua di hadapanku. Bangunan yang telah menorehkan banyak cerita. Cerita bahagia yang terbalut luka. Apa luka ini akan mengubur seluruh kebahagiaan yang telah ku ukir selama tiga tahun di sini? Aku tak tahu, aku belum bisa mengambil keputusan.

"Sepertinya teman-temanmu juga baru saja sampai? Apa mereka juga yang ada di vila malam itu?" Bang Arka memecah lamunanku. Aku menatap Bang Arka bingung, yang langsung dijawab dengan acungan dagu menunjuk ke arah gerbang depan sekolahan. Mataku kembali memandang ke arah sekolahku.

Ku lihat teman-temanku sebagian baru turun dari kendaraan mereka. Aku mengenali mereka. Iya, mereka yang bersamaku kemarin di vila. Kemarin beberapa dari kami berinisiatif untuk menghabiskan waktu setelah kelulusan dengan menginap bersama di salah satu vila milik teman sekelasku.

"Benar, mereka temanku semua Bang. Kemarin kami juga bersama beberapa teman dari sekolah lain, yang memang sudah akrab dari dulu karena pernah berada di satu lomba yang sama." Aku menjelaskan sedikit pada Bang Arka.

"Baiklah, aku turun ya Bang," Ucapku sambil berbalik menatap Bang Arka. "Makasih ya Bang untuk semuanya. Semoga Bang Arka segera menemukan titik terang di hidup Abang dan semoga Abang bahagia selalu." Aku tulus mengucapkannya. Aku sungguh berharap Bang Arka akan menemukan kebahagiaannya. Rasanya tidak rela melihatnya terluka. Entah karena alasan apa.

"Ngomongmu kayak kita gak akan ketemu lagi aja. Jangan khawatir, aku masih akan ke rumahmu. Kirim alamatmu. Dan kabari aku setelah kamu sampai rumah. Ingat, jangan coba-coba membodohiku atau membohongiku." Ujar Bang Arka sambil tersenyum simpul. Ah senyum ini, senyum meremehkan yang sering aku terima beberapa jam ini.

"Baiklah Bang." Aku berkata sambil menarik nafas panjang.

Kenapa sih aku bisa terlibat dengan orang macam Bang Arka gini? Aku jadi takut membayangkan apa yang akan Papa dan Mama katakan nanti? Aku sebenarnya tak ingin mereka mengetahui masalah kemarin.

"Aku jalan dulu ya Bang. Makasi untuk semuanya. Sampai ketemu lagi Bang. Benarkan kalau gini?" Aku membuka pintu mobil tanpa menunggu jawabannya. Hatiku terlalu dongkol.

Aku berjalan penuh percaya diri memasuki gerbang sekolahku. Aku tidak lagi menoleh ke belakang. Aku tidak lagi menatap mobil Bang Arka, apakah sudah pergi atau belum. Masa bodoh dengannya.

Tiba-tiba aku merasa tanganku ada yang menariknya dari belakang. Aku hampir melompat saking kagetnya.

"Apa lagi Bang?" Aku yakin Bang Arka masih mau meledekku. Aku langsung pasang tampang masam dan menoleh ke belakang.

Ah sial! Ini sih bukan Bang Arka, ini makhluk yang saat ini sangat tidak ingin ku temui tapi masih selalu ku rindu.

"Kay, maafkan aku. Aku sungguh melakukan kebodohan hari itu. Aku sungguh khilaf, Kay. Tolong maafkan aku. Aku janji gak akan mengulangi lagi, Kay. Aku gak berniat seperti itu, Kay." Danendra, kekasihku selama masa putih abu-abuku, yang menemaniku mengukir kenangan selama tiga tahun bersamaku, saat ini ada dihadapanku, dengan wajah memelas memohon maaf dariku.

Aku melihat wajah Danen yang penuh cinta sedang menatapku lekat. Ah wajah itu, wajah yang masih sangat ku rindu hingga detik ini. Wajah yang selalu menimbulkan ketenangan di hatiku. Wajah yang selalu menghiasi tiap hariku. Wajah yang telah menjadi candu untukku. Namun kini, matanya menatapku dengan sendu seakan ingin menyalurkan penyesalan hatinya kala itu.

Entahlah, saat ini aku sungguh tak bisa menilai diriku sendiri. Aku tidak bisa membaca hatiku sendiri. Saat Danen mengatakannya, aku ingin segera menghamburkan diri ke dadanya. Sama seperti ketika pada masa lalu aku selalu mencari ketenangan di pelukannya. Namun kini, rasa itu terselimuti kabut. Kabut tebal yang terasa menyesakkan jiwa.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang