TIGA

241 9 0
                                        

Buuggh..

Kulempar bantal di sisi kananku, tepat mengenai kepala lelaki itu. Geram, aku merasa sangat geram. Marah, hatiku serasa mendidih karena amarah. Pertanyaan yang ku lontarkan malah dijawab dengan pertanyaan ambigu yang membuat jantungku terasa ditusuk seribu sembilu.

Aku menangis kencang, hatiku sungguh tak bisa tenang, meratapi nasibku yang malang. Entah bagaimana aku harus menghadapi hidup, entah bagaimana aku bisa menegakkan kepalaku lagi. Jiwaku terasa hampa, batinku merana. Aku benar-benar merasa hancur.

"Hei bocah, ga ada sopan-sopannya sih, seenaknya aja main lempar bantal!" Ujar lelaki itu, namun terselip tawa dalam ucapannya.

Hah, sial! Apa dia sedang menertawakan kesedihanku? Apa dia sungguh merasa senang dengan penderitaanku? Sungguh sial nasibku. Aku tak sanggup lagi membayangkan betapa hancurnya hidupku saat ini. Aku tak berani lagi berangan tentang masa depan.

"Udah jangan nangis terus. Yang terjadi biar terjadi." Dia berbicara lagi, dengan sangat ringan dan mudah mulutnya terbuka.

Mendengarnya berbicara, hatiku menjerit. Sakit. Sangat sakit. Aku berteriak kencang, sambil melempar apapun yang ada dalam jangkauanku, meluapkan seluruh amarahku. Ingin kuterjang tubuhnya, ku tendang kakinya, ku hantam kepalanya sekedar untuk menyalurkan kemarahanku. Namun aku sadar, tubuhku yang hanya tertutup selimut, menjadi penghalang.

"Hei.. Hei.. Tenanglah.. Tenang.. Ada apa denganmu? Tenanglah. Nanti para tetangga datang, dikira ada masalah gawat lho. Tenanglah bocah." Lelaki itu terkejut mendengar teriakanku. Lebih tepatnya tidak siap menghadapi amarahku. Aku yakin dia tidak memprediksi responku yang akan menggila seperti ini. Hah, kau pikir aku tak akan menggila jika mengingat yang telah kau lakukan padaku.

"Brengsek! Kamu sungguh seorang penjahat! Apa kamu sungguh melakukannya? Apa kamu sungguh sudah.." Kata-kataku terhenti. Aku tak kuasa meneruskannya. Setiap kata yang ku keluarkan untuk bertanya, seakan meremas seluruh hatiku. Sesak, nafasku mulai tersengal-sengal. Dadaku naik turun tak beraturan. Bisakah aku segera menghilang dari sini?

Dia mendekat, mengusap lembut rambutku. Penjahat itu menyatukan tangannya pada wajahku. Mengusap aliran air mataku. Dia memelukku erat, berusaha menenangkanku. Tapi sungguh aku sudah tidak bisa tenang lagi. Bahuku berguncang hebat. Dengan bodohnya aku tidak melepaskan pelukannya, malah menikmati sentuhannya. Sentuhan yang menenangkanku. Heh otak tolong suruh tanganku menepis pelukannya! Apa kau sudah tertipu wajah teduhnya? Senyum hangatnya? Jangan mengkhianati hati dan tubuhku!

"Apa yang kamu pikirkan sih? Emangnya apa yang udah aku bilang? Kamu kebanyakan nonton apa sih sebenernya? Harusnya tuh aku yang takut. Aku takut dituduh melarikan anak gadis orang. Aku takut dilaporkan menculik kamu!" Lelaki itu mencercaku dengan berbagai pertanyaan yang tak sanggup aku jawab. Tangannya yang bebas sibuk menutup punggungku yang terbuka dengan sisa selimut yang ada. Segala omongannya sudah tidak bisa ku cerna dengan baik.

Aku mendesah, berusaha mengatur nafasku. Aku harus bisa bertanya tentang semuanya, jadi aku bisa memikirkan langkahku selanjutnya. Entah langkah apa yang akan aku ambil, sejujurnya aku sudah tidak bisa memikirkan apapun. Aku hanya ingin mengetahui tragedi yang telah terjadi.

"Aku di mana? Dan kamu siapa? Kenapa aku di sini? Aku.. Aku.." Ah aku benar-benar tak sanggup berbicara dan tak sanggup berpikir. Jiwaku seakan terbang. Hatiku menciut. Ragaku terasa ringan tak berbobot. Aku menjatuhkan kepalaku di dadanya yang bidang. Membasahi kemejanya dengan air mataku. Aku tak perduli lagi, biar saja pakaiannya lusuh dan bau oleh air mataku.

"Apa yang ingin kamu ketahui dulu? Eh tapi, semalaman aku menanti ada yang meneleponmu, tapi tak ada satupun yang meneleponmu. Kamu, apa kamu melarikan diri dari rumah? Di mana rumahmu? Orang tuamu?" Lelaki itu mulai menginterogasi aku.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang