Pandanganku nanar menatap gundukan tanah merah yang masih basah itu. Air mataku sudah mengering. Tak ada lagi yang bisa menetes dari mataku. Mungkin karena seluruh kata-kata kakak di danau saat aku bermimpi malam itu terus saja terngiang ditelingaku.
Sekuat tenaga aku menahan luapan emosiku, aku sungguh tak mau pingsan lagi. Sudah lelah rasanya hati ini terus menerus menyusahkan keluargaku dan juga suamiku.
Deg.
Seketika jantungku berpacu dengan cepat. Otakku langsung teringat akan statusku, aku segera menatap tubuh kokoh yang ada di sisi kananku, yang tangannya melingkar di pinggangku. Dia selalu waspada, dia selalu siaga berada di dekatku dan dia selalu tersenyum menatapku, seakan ingin memberiku semangat lewat senyumannya itu.
Dialah Bang Arka, suamiku, yang keberadaannya kini teralihkan dan terlupakan olehku. Bahkan aku tidak menjalankan peranku sebagai istri sama sekali.
Otakku hanya mengingat kakak dan berputar di sekitar duniaku dan kakak. Semua kenanganku bersama kakak terus berotasi bagai putaran bumi yang tiada henti. Terus menerus dan tanpa jeda. Terutama kebersamaan terakhir kami.
"Abang." Panggilku lirih meminta perhatiannya.
"Iya sayang."
"Jangan tinggalkan Kay." Air mataku seketika luruh.
Entah kenapa hatiku mendadak dicekam rasa takut. Kehilangan menjadi momok menakutkan untukku saat ini. Rasanya, cukup berat saat kehilangan kakak, dan aku tak ingin lagi merasakan yang namanya kehilangan.
"Abang, janji ya? Jangan tinggalin Kay." Kini aku mulai merengek.
Bang Arka menarik nafas panjang, "memangnya Abang bisa kemana lagi sayang? Tempat Abang berada di sisimu, Abang tidak akan meninggalkan kamu."
"Jangan kayak kak Farel yang ninggalin Kay sendirian."
"Sayang, kamu gak sendirian. Ada Abang, Mama, Papa, Ayah dan juga Ibu. Ada Winda dan juga Kendrick. Kamu gak sendirian sayang." Bang Arka merengkuh tubuhku.
"Kay, takut sendirian Bang. Kay takut ditinggalkan."
Tangisku kembali pecah. Oh kakak, maafkan aku. Aku tetaplah adikmu yang cengeng. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk tidak menangis. Ini terlalu berat untuk ku tanggung kak.
"Sayang." Bang Arka mengusap punggungku dan menciumi puncak kepalaku. Perlakuannya sungguh membuat hatiku diselimuti kehangatan yang menyenangkan. Aku semakin membenamkan kepalaku di dada bidangnya.
"Arka, bawa Mikha kembali. Ia butuh istirahat." Suara Ayah terdengar dari balik punggungku.
"Benar nak, tolong bawa saja Kay pulang. Sebentar lagi prosesinya selesai kok. Kalian kembalilah dulu." Kali ini suara Papa yang terdengar.
"Baiklah," Suara Bang Arka terdengar lirih, "ayo sayang kita kembali." Imbuhnya sambil menarik lembut tubuhku.
Aku mendongak menatap mata Bang Arka, "Kay mau disini sampai selesai. Kay gak mau meninggalkan siapapun sendirian. Kay akan kembali bersama-sama dengan semuanya."
Entah bagaimana awalnya, namun tiba-tiba saja aku merasa tubuhku ditarik dengan lumayan kencang. Aku mengerjap kebingungan mendapati tubuhku membentur tubuh tegap lainnya. Kini aku ada di pelukan hangat yang lain. Namun bukan Bang Arka.
"Oh sayang." Papa mengusap punggungku. Ah aku berada di pelukan Papa.
"Tanpa kamu sadari, dan tanpa Papa sadari, ternyata hatimu menyimpan luka itu. Maafkan Papa." Papa memelukku dengan kencang.
Aku hanya mampu membalas pelukan Papa tanpa tahu apa maksudnya. Ku dongakkan kepalaku untuk melihat wajah Papa.
"Pa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...