SERATUS SEPULUH

34 7 0
                                    

"Itu tidak benar Mikha. Itu direkayasa."

Aku terdiam mendengar ucapan Bang Arka. Dengan nanar ku tatap wajah lelaki yang sudah mencuri hatiku ini. Mana yang harus ku percaya? Astaga, ini membingungkan saat semua saling merasa benar.

"Baik jika kamu tak bisa percaya padaku, tunggulah seminggu lagi. Akan ku bawakan hasil yang akurat." Suara Bang Arka membuyarkan lamunanku.

Aku masih tak merespon. Entah kenapa, bibirku terasa sangat kelu.

"Dengarkan Abang Mikha. Ini cerita Abang tapi mungkin sedikit membuatmu tak nyaman. Tapi ku mohon, dengarkan dengan baik karena hanya sekali ini saja aku menceritakannya. Tak akan pernah ku ulangi lagi. Karena kamu tau kenapa? Karena ini akan melukaimu." Bang Arka menatapku tajam seakan memintaku untuk mengurungkan ceritanya.

Dengan berbekal ilmu nekat, aku memberanikan diri untuk mengangguk dan bersiap mendengar ceritanya.

"Kamu yang meminta, jadi tolong jangan berubah padaku. Tetaplah disampingku dan mencintai aku selalu." Pinta Bang Arka dengan suara bergetar. Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Mikha, kamu tahu kan bagaimana seorang anak terbentuk? Kamu mempelajari ilmu biologi kan? Pembuahan terjadi saat sel sperma bertemu dengan sel ovum, bukankan begitu?" Aku mengernyit mendengar ucapan Bang Arka. Apa begini rasanya punya kekasih seorang dosen? Aku merasa seperti sedang mengikuti pelajaran saja.

Bang Arka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat responku. Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan ceritanya.

"Mikha, saat menikah dengan Adinda aku hanya dua kali berhubungan intim dengannya. Pertama saat malam pertama kami sebagai suami istri. Malam itu aku baru mengetahui jika Adinda sudah tidak perawan saat menikah denganku. Rasa kecewa itu langsung menyergapku tanpa bisa ku kendalikan. Dan kamu tahu yang terjadi, aku tidak menuntaskan permainan kami malam itu." Bang Arka menatapku, mungkin ia mengamati reaksiku.

Aku masih terus mencerna ucapannya meski kini ku rasakan perih menyusup relung hatiku. Otakku langsung menyiarkan secara langsung gambaran kejadian hari itu. Ah sial, kenapa harus direka ulang oleh otakku sih?

"Bisa Abang lanjutkan Mikha?" Tanya Bang Arka dengan ragu.

"Silakan."

"Kamu tau kan maksud dari ucapanku tadi? Aku tak menyelesaikan permainan kami. Tolong kamu garis bawahi. Dan setelah kejadian itu, aku tak pernah menyentuhnya sama sekali. Aku masih kecewa dan terus menjauhinya. Aku masih belum terima jika dia tak lagi perawan meski aku pun sudah tak lagi perjaka. Tapi kembali lagi, aku seorang lelaki yang ingin mendapatkan kesempurnaan dalam hidupnya. Sebejat-bejatnya aku, saat mempunyai istri, aku ingin wanita baik-baik yang menjadi pendampingku dan Adinda ternyata tidak seperti itu."

Bang Arka menarik nafasnya panjang dan dalam.

"Selang sebulan setelah pernikahan kami, aku mulai bisa menerima dan menjadikan itu sebagai masa lalu Adinda. Toh masa laluku pun tak lebih baik darinya kan? Jadi aku berusaha menerima semua hal yang ada dalam diri Adinda dan memulai lagi pernikahan kami dengan baik. Sampai akhirnya suatu malam, kami kembali berhubungan intim dan disitu kami menyelesaikan permainan kami." Ada yang terasa retak saat mendengar penjelasan Bang Arka, tapi aku tak bisa mencegahnya.

Ah kenapa terasa sangat sesak dan perih sekali saat mendengarnya? Sekuat tenaga aku menahan laju air mataku yang ingin mendesak keluar.

"Kamu baik-baik saja Mikha?" Bang Arka membawaku dalam pelukannya.

"Rasanya sangat sakit mendengarnya. Entah kenapa otakku memproyeksikan gambaran Bang Arka tidur dengan Adinda dan bermesraan dengannya. Sakit Bang. Sakit banget." Aku sesenggukan di pelukan Bang Arka. Aku tak mampu lagi menahan gejolak hatiku. Ku semburkan semua kesakitanku.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang