SERATUS TIGA PULUH LIMA

39 7 0
                                    

Pagi ini aku membantu Bang Arka memasang dasinya. Ah lelaki tampan di depanku ini milikku, suamiku! Seketika hatiku menghangat saat otakku memikirkan hal ini.

"Kenapa senyum-senyum? Memang sejak dulu Abang ganteng kok." Bang Arka mengagetkan aku dengan suara lirihnya. Senyumnya tampak dikulum.

"Dih! Emangnya Kay gak boleh senyum? Nanti kalau Kay nangis Abang bingung lho." Jawabku asal untuk menyembunyikan kegugupanku.

"Kalau sayang, bilang aja. Kalau cemburu, bilang aja. Kalau ganteng, juga bilang. Pokoknya, apapun yang ada di pikiranmu, Abang ingin mengetahuinya Mikha. Katakan saja semuanya!" Bang Arka menyentuh lembut pipiku.

Aku benar-benar tidak salah memilih suami. Aku sungguh bersyukur kakak menyuruh kami segera menikah. Sekarang, aku bisa memiliki lelaki ini untuk diriku sendiri. Meski banyak pekerjaan rumah yang meminta untuk segera diselesaikan.

"Bang, temenin Kay minta maaf sama Papa dan Mama ya." Mendadak aku mengingat hal pertama yang harus aku benahi.

"Tumben cemen." Cibir Bang Arka.

"Kay biasanya jadi anak baik, baru sekali ini Kay kesetanan."

"Hus! Gak boleh ngomong gitu. Istri cantik gini masa di bilang kesetanan."

"Mau gimana lagi Bang, kalau diingat-ingat, kelakuan Kay kemarin keterlaluan banget sih. Ngeri Kay bayangin wajah Kay kemarin."

"Itu namanya bukan kesetanan. Tapi kesurupan. Gitu kemarin bilangnya Abang yang kesurupan, eh taunya kamu sendiri yang kesurupan." Bang Arka menggodaku sambil mencubit pipiku dengan gemas.

"Abang ih, jahat banget." Aku merajuk.

"Jahat mana sama kamu, Mikha? Mana sampai Ayah dan Ibu datang ke apartemen lagi. Malu banget Abang sayang." Bang Arka langsung menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi ke seluruh tubuhku.

Aku yang merasa kegelian, berusaha melepas diri dari pelukan Bang Arka.

"Abang." Aku mendorong sedikit tubuh Bang Arka.

Dengan nafas yang terengah-engah, Bang Arka berujar.

"Ayo segera turun dan sarapan. Abang gak bisa nahan kalau terus seperti ini Mikha, sedangkan kamu belum siap."

Tanpa menjawab aku langsung melesat keluar dari kamar saat pelukan Bang Arka mengendur. Aku sangat paham maksud ucapan Bang Arka. Dan benar, aku merasa belum siap. Maafkan Kay Bang.

Aku melangkah dengan ragu menuruni tangga saat tanganku tiba-tiba ada yang menggenggam.

"Kenapa? Takut? Ragu? Ada Abang, tenanglah Mikha." Bang Arka kini menuntun langkahku dan menuju ke meja makan.

Mataku membelalak saat melihat meja makan telah ramai oleh dua pasangan paruh baya yang sangat ku kenal.

Apa semalam setelah kejadian itu, Ayah dan Ibu tidak pulang? Astaga, anak apa aku ini yang mengabaikan orang tuanya! Kemarin aku memang langsung tertidur hingga pagi ini.

"Selamat pagi." Aku berucap lirih saat kakiku memasuki ruang makan.

Empat pasang mata menatapku dengan senyuman yang mampu membuatku malu. Kemarin aku menggila dan kini mereka menyambutku dengan tangan terbuka. Astaga, apa pantas aku mendapatkannya? Hatiku sungguh retak mengingat kelakuanku kemarin.

"Mikha ingin mengucapkan sesuatu." Ujar Bang Arka sambil menatapku dan menganggukkan kepala.

Aku tahu, dia sedang memberiku semangat dan meyakinkanku bahwa semua baik-baik saja.

"Mama, Papa, Ayah, Ibu," Aku memanggil para penghuni meja makan satu per satu, "Kay minta maaf untuk kelakuan Kay kemarin. Kay salah, Kay gak sopan, Kay udah ngomong yang bikin semuanya sakit hati. Terutama Papa." Imbuhku sambil menatap Papa.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang