SERATUS TIGA PULUH TIGA

35 5 0
                                    

"Kamu!" Mama dan Ibu Adinda berteriak bersama.

Mereka saling menuding dan tampak jelas wajah terkejut pada keduanya. Aku semakin bingung dengan situasi ini. Terlebih, Mama langsung menempatkan diri di depan tubuhku yang masih berada di pelukan Ibu.

"Mama, kenal orang itu?" Aku berucap lirih dari belakang Mama.

Tanpa menjawabku, sebelah tangan Mama langsung memegang tanganku. Oh tidak, tangan Mama sangat dingin. Biasanya jika seperti ini, Mama berada dalam kondisi yang gugup atau takut. Aku sangat hafal perubahan wajah dan tubuh Mama.

"Apa yang anda lakukan disini?" Tanya Mama dengan nada ketus.

Astaga, bahkan Mama bisa semarah ini. Aku baru mengetahuinya. Biasanya Mama tidak begini meski saat memarahi aku dan kakak karena kenakalan kami.

"Kamu Kay?" Ibu Adinda justru bertanya padaku, pandangannya melewati bahu Mama.

Aku baru membuka mulutku saat Mama yang mulai menjawabnya, "bukan dia Mikha!"

Dahiku berkerut saking bingungnya. Ada apa ini? Bahkan Mama memanggilku Mikha. Padahal sangat jelas itu panggilan Abang untukku dan kemudian orang di sekitar Abang mengikuti panggilannya. Tapi keluargaku tetap memanggilku 'Kay'.

"Mama, tenanglah!" Ku usap lengan Mama sekedar untuk menenangkannya, "dia ibunya Adinda, istri pertama Bang Arka." Imbuhku dengan berbisik yang langsung membuat Mama membalikkan tubuhnya dan menatapku dengan mata bulatnya.

"Apa kamu bilang Kay? Ibunya Adinda? Wanita ini?" Suara Mama jelas merupakan keterkejutan yang sudah di level atas.

Dengan segera Mama merengkuh tubuhku dan membawanya ke dalam dekapan hangatnya. Entah mengapa air matanya langsung membasahi tubuhku.

"Jeng Febrina, mohon maaf, sepertinya ini saat yang tepat untuk anda pergi dari sini. Bukankah kita sudah menyelesaikan dengan baik-baik? Mengapa sekarang jeng Febrina bertindak jauh seperti ini? Kita bisa kembali bertemu dan berdiskusi saat pengadilan di gelar. Mungkin dua minggu lagi." Kali ini suara Ibu terdengar lebih tenang.

Namun bukan itu yang menjadi fokusku. Tadi Ibu mengatakan nama Ibu Adinda. Tapi siapa ya? Rasanya telingaku tidak asing dengan nama itu. Ah iya, wajahnya juga tampak ku kenali. Tapi sejak pertama bertemu dengannya di rumah Ayah, aku terus mengaduk ingatanku, namun tak juga mendapatkan jawaban atas rasa penasaranku.

"Tadi Ibu bilang namanya Febrina?" Tanyaku pada Ibu, "Kay rasanya pernah mendengar nama itu." Imbuhku sambil bergantian menatap Mama.

"Tapi di mana ya?" Aku terus membongkar ingatanku, "siapa ya Ma? Mama inget gak?" Kini aku bertanya pada Mama.

"Kita masuk aja yuk Kay." Mama menarik tubuhku masuk lebih dalam ke ruang keluarga.

Dari tatapan matanya, Mama dan Ibu sepertinya saling bertukar kode. Dan benar saja, tak lama Ibu mengangguk.

"Silakan anda keluar." Ujar Ibu, yang samar ku dengar dari ruang keluarga.

Tak terdengar bantahan atau kalimat apapun dari Ibu Adinda dan hanya terdengar suara pintu tertutup.

Tak berselang lama, Ibu sudah bergabung denganku dan Mama.

"Ada apa jeng Mia?" Tampaknya Ibu sudah tak bisa membendung rasa penasarannya.

Ku lihat Mama dan Ibu saling memandang. Namun dari matanya terlihat sangat penuh makna. Apa jangan-jangan...

"Ma, apa itu orang yang merusak rumah tangga Mama dulu?" Entah keberanian dari mana yang aku dapatkan hingga mulut ini sangat luwes mengungkapkan luka lama Mama.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang