SERATUS LIMA

30 5 0
                                    

Tangisku pecah saat menatap lembaran kertas putih itu. Harapanku serasa terbang melayang entah kemana. Baru beberapa menit tadi aku memberanikan diri, menantang angkuhnya segala kenyataan yang ada, berusaha menerobos dinding pembatas, berniat menghancurkan segala penghalang yang menghadangku.

Sakit ini terasa sangat menohokku. Tak mengeluarkan darah namun terasa sangat perih dan menyiksa. Baru tadi kami saling berjanji, nyatanya sekarang segala ucapan itu menguap.

Astaga, apa sesakit ini mencintai suami orang?

Ku ambil ponselku, setidaknya sedikit otakku masih bisa diajak kerja sama. Aku harus bertanya dimana keberadaan Winda dan Aldrich saat ini. Bagaimanapun juga, merekalah yang membantuku dari kemarin. Sekalian saja untuk mengalihkan pikiranku.

"Halo Win." Sapaku saat ponselku sudah terhubung dengan ponsel Winda.

"Kay, gimana keadaanmu? Maaf aku tak bisa mendampingimu. Tapi tenang saja, besok aku kembali dan segera menemuimu." Sahut Winda diseberang sana.

"Jadi kamu masih di rumah? Belum kembali ke rumah kontrakanmu?" Tanyaku.

"Aku kembali besok sayang. Apa kamu merindukanku? Ingat, jangan macam-macam saat tak ada aku!" Celotehan Winda yang seakan meniru nada bicara Bang Arka, benar-benar mampu membangkitkan tawaku.

Ah sial, aku merindukan mulut blong gadis itu.

"Baiklah, nikmati dulu kencanmu. Cepatlah kembali. Aku benar-benar merindukanmu Win." Aku merengek padanya dan dibalas dengan tawa mengejeknya.

"Ya ya ya. Apa Bang Arka tak menemanimu?" Sindir Winda.

"Ah tau lah. Ku tutup dulu kalau begitu. Dan cepatlah kembali. Aku sendirian."

"Bagaimana kamu bisa sendirian jika Bang Arka yang tampan itu selalu ada disebelahmu dan memelukmu erat."

"Windaaa!!" Aku berteriak lantang saat Winda mematikan panggilan kami secara sepihak.

Dih, dasar gadis itu, bar-bar! Tapi entah mengapa, aku sangat menyukainya. Mulutnya tajam, terkadang sedikit masam, tapi hatinya sangat baik. Dia juga setia kawan.

Kembali ku hubungi nomor yang entah sejak kapan ku hafal diluar kepala ini.

"Iya Kay." Sapaan hangat dari pemilik nomor itu pada dering ketiga panggilanku.

"Kak Al--" Aku menggantung ucapanku, bingung mau berkata apa.

"Iya, ini aku sayang. Ada apa?" Aldrich mencoba menggodaku. Suaranya terdengar sangat jahil.

Bukankah aku patut bersyukur dikelilingi orang-orang yang peduli padaku? Aldrich dan Winda, rasanya mereka sudah menjadi orang yang penting untukku. Mereka tulus membantu dan mendampingiku. Aku juga tahu, saat ini mereka berusaha menghiburku.

"Abang eh maksudku, Kak Al." Aku menutup mulutku saat salah menyebut panggilannya.

"Ini aku sayang, bukan Bang Arka." Aldrich terkekeh tapi aku tahu, ada luka tak terlihat disana.

"Maaf," Ucapku lirih, "kak Al dimana? Kemarin Kak Al nginep dimana? Kay gak lihat Kak Al dimanapun." Imbuhku lagi.

Terdengar suara tawa dari ujung sana.

"Kenapa? Merindukanku? Merasa kehilangan?" Aldrich kembali menggoda.

"Aku mencarimu tapi gak ketemu, kak. Kakak dimana?" Tanyaku mendesaknya.

"Aku di rumah Winda. Aku berniat nginep di tempatmu tapi wajah garang satpammu sungguh membuatku risih." Cibir Aldrich yang ku yakin ditujukan untuk Bang Arka.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang