SERATUS EMPAT PULUH DELAPAN

40 2 0
                                    

Aku segera melangkah menuju laboratorium setelah mobil Bang Arka tak tampak lagi. Dengan senyum kemenangan, kakiku terasa sangat ringan untuk digerakkan.

Yes! Aku mampu meruntuhkan tembok keegoisan suamiku itu. Dan aku, tentu saja tahu senjata ampuh untuk melumpuhkannya. Tawaku benar-benar ingin meloloskan diri dari mulut saat otakku kembali menampilkan kilasan perjanjian kami malam itu.

Bang Arka dan sekumpulan egonya. Hahaha.. Tapi tetap saja, lelaki yang kini menjadi suamiku itu tetaplah seorang lelaki yang tak mampu menahan hasratnya.

Ya, Bang Arka dan hasrat kelelakiannya, selain membuatku melayang namun itu juga memberiku satu keuntungan besar. Aku mulai bisa bernegosiasi dengan Abang dan itu menggunakan kelemahan Bang Arka.

Eh, itu kelemahan atau kelebihannya ya? Entahlah, yang jelas, itu menguntungkan kami berdua dan tentu saja, aku lebih diuntungkan.

Ku buka pintu laboratorium dengan senyum yang sejak tadi belum juga surut dari bibirku.

"Napa kamu senyum-senyum sendiri, Kay?" Aku terlonjak saat mendengar suara yang menyapaku dari belakang tubuhku.

"Astaga!" Aku mengusap dadaku yang berdebar dengan kencang, "kaget tau!" Suaraku sudah meninggi saking terkejutnya.

Dan wanita di depanku justru terbahak-bahak melihatku. Eh tunggu, kok dia disini sih?

"Kok--" Aku menjeda ucapanku sambil memikirkan kemungkinan yang terjadi, "kamu bisa disini sih?" Imbuhku.

"Emangnya kenapa? Aku gak boleh kesini gitu? Kan ini jurusanku juga. Emang kalau aku gak di sini, kamu mau ngapain Kay? Mau iya-iya sama kak Al? Inget suami Kay. Aku laporin kamu ke Abang." Astaga! Mulut gadis ini benar-benar minta ditabok. Dia mencercaku tanpa henti sampai aku tak sanggup membalasnya.

"Idiiihh, aku di sini juga atas seizin tuh orang. Dia yang nganterin juga kok," Jawabku setelah bisa mengumpulkan kembali kesadaranku, "beneran deh Win, kamu kenapa bisa sampai sini sih? Kan aku belum jemput kamu? Kita kan udah janjian mau nyoba gaun buat resepsiku. Kamu gak lupa kan?" Aku yang kini mencerca gadis itu, Winda, sahabat baikku. Yang entah sejak kapan sudah berada di laboratorium.

"Iya, aku gak lupa. Cuma lagi suntuk aja di kos sendirian." Jawab Winda.

"Gitu tuh kalau lagi galau." Ada suara bariton yang menyela perbincanganku dan Winda.

Sontak kami menoleh pada sumber suara yang baru saja keluar dari ruang yang digunakan untuk sterilisasi media tumbuhnya mikroba.

"Kak Al." Sapaku dengan tersenyum pada lelaki berjas putih, yang kini semakin mendekati kami.

Aldrich membalas senyumku dan mengusap puncak kepalaku sebagai balasan.

"Belum bisa dihubungi juga?" Aldrich melemparkan pandangan pada Winda, aku mengikuti arah pandangannya.

Kepala Winda menggeleng saat pertanyaan Aldrich selesai terucap. Ada apa lagi sih ini?

"Kenapa?" Tanyaku dengan berbisik pada Aldrich.

Aldrich menarik sudut bibirnya dengan mimik wajah yang lucu.

"Dari kemarin kekasihnya gak bisa dihubungi, gak tahu kemana. Tadi pagi kakak jemput aja dia di kosnya, kakak ajak bantuin analisa disini, lumayan dapet tenaga gratisan. Kasihan, kakak takut dia depresi mikirin pacarnya yang tiba-tiba hilang." Aldrich menjawab dengan berbisik juga.

Tapi dasar Aldrich, bisikannya sengaja dibuat dengan suara yang bahkan dari seberang pintu pun masih terdengar.

"Aku dengar ya Kak!" Nah benarkan? Si obyek yang dibicarakan mulai protes.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang