DUA

314 8 0
                                    

Mataku mengerjap, berusaha beradaptasi dengan banyaknya cahaya yang masuk. Ah, ini sungguh tidak nyaman, sangat silau. Aku terus berusaha menyesuaikan penglihatanku. Memicingkan mataku untuk menghalau sinar yang datang. Astaga! Kenapa banyak sekali cahaya?

Ku putuskan membuka mataku. Dengan perlahan ku buka satu per satu mataku. Setelah merasa nyaman dengan banyaknya cahaya yang masuk ke mataku, aku melirik ke kiri dan kananku. Kamar yang rapi dan terang. Kasur besar yang empuk dan selimut yang hangat. Pantas saja bangun tidur ini tadi aku merasa segar dan bersemangat. Ah, tidur yang berkualitas.

Tapi, what? Sesaat aku tersadar. Aku langsung duduk, terperanjat kaget. Aku memandang sekeliling ruangan. Tembok berwarna biru dengan hiasan hijau di bagian atasnya. Kasur ini terlalu lebar. Kamar ini terlalu luas dan jendela itu terlalu besar. Ini ruangan asing, ini bukan kamarku. Aku ada di mana?

Seketika hawa dingin menyapa bahuku. Refleks ku tengok bahuku, shit! Selimut yang tersingkap memamerkan lekuk tubuhku. Ku lirik ke bagian bawahku. Astaga, aku di mana? Apa yang terjadi? Ku mohon, biarkan aku juga selamat kali ini. Tangisku pecah, air mataku tak terbendung. Aku menangis meraung-raung, menutupi wajahku dengan telapak tangan.

"Kamu udah bangun?" Pintu tiba-tiba terbuka. Sosok lelaki datang dari arah pintu, membawa nampan berisi bubur dan susu. Suaranya mengalun lembut dan hangat, sangat merdu. Wajahnya cerah, bibirnya dihiasi senyum tipis semanis madu.

Aku kembali terlonjak, suara lelaki itu menyadarkan aku dari lamunan. Selimut yang melorot, aku tarik lagi hingga batas leherku. Ku usap kasar air mataku, berharap tidak ada jejak tertinggal di wajahku. Dadaku bergemuruh. Takut, khawatir, dan marah, semua bercampur menjadi satu. Aku ingin memuntahkan seluruh kata yang ada di kepalaku, namun aku malah diam membisu, bingung kata mana yang akan aku lontarkan terlebih dahulu.

"Ini makanlah." Dia mendekat, meletakkan nampan di nakas samping kasur yang ku tiduri. Menempelkan punggung tangannya di dahiku. Wajahnya terlihat lega.

"Baguslah, demammu sudah turun. Cepatlah makan bubur ini, terus minum obat." Ujarnya. Suaranya lirih, penuh kesabaran.

"Obat apa? Obat apa yang kamu beri ke aku?" Ya bagus, akhirnya aku bisa mengeluarkan kata-kata meskipun dengan terbata-bata.

Dia tertawa. Sial! Lelaki ini malah menertawakanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.

"Emang apa yang kamu pikirkan? Makanya sekolah yang bener, jangan kebanyakan nonton yang bukan-bukan!" Dia masih tertawa. Wajahnya benar-benar ceria, sepertinya dia sangat terhibur dengan responku. Dia mengacak rambutku. Jantungku langsung berdegup tak terkendali. Aku membeku.

"Kenapa ngeliatnya kayak gitu? Takut?" Dia bertanya lagi.

Apa? Takut? Kalau ada kata yang melebihi takut, nah, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini. Aku super takut!

"Ini, aku, bajuku? Kenapa? Apa?" Aah tak tahu lagi lah. Seperti orang bodoh saja, mulutku tidak mau diajak kerja sama. Bicara tidak jelas.

Aku menangis lagi. Aku sungguh tak sanggup mencerna yang telah terjadi. Yang ada di kepalaku hanya satu kemungkinan dan itu kemungkinan yang sangat tidak aku harapkan terjadi.

"Bicaralah pelan-pelan, apa yang ingin kamu sampaikan?" Dia mengusap lembut puncak kepalaku. Astaga, apa ini metode menciptakan pelangi sebelum badai? Menenangkanku sebelum membeberkan fakta yang ada? Sungguh aku hanya ingin mengumpat.

"Apa yang terjadi?" Nah bagus, begitu, akhirnya otak dan tubuhku kembali sinkron.

"Apa kamu gak mengingatnya?" Lha, dia malah balik bertanya.

Ku pandangi wajahnya dengan lekat. Mencari sedikit saja jawaban atas pertanyaan yang berkecamuk di hatiku. Tapi nihil, tidak dapat ku temukan apapun di sana. Dia memasang wajah datar, meskipun dihiasi dengan senyum hangatnya. Aku memutuskan mengingat yang terjadi kemarin. Eh kemarin? Benar hanya kemarin kan?

"Sudah berapa lama aku di sini?" Aku langsung bertanya begitu terlintas pikiran buruk di otakku.

"Hahahaha.. Kamu lucu banget ya. Dasar ABG! Baru lulus kemarin udah linglung. Mikir apa sih sebenernya kamu tuh?! Kamu gak konsumsi yang macem-macem kan?" Dia tertawa terbahak-bahak kemudian menanyakan pertanyaan konyolnya. Tentu saja, aku sangat mengerti arah pertanyaannya.

"Aku bersih. Gak macem-macem. Tapi.." Aku menggantung kalimatku. Antara takut dan penasaran ingin bertanya. Takut akan jawaban yang mungkin tidak sesuai harapanku. Tapi penasaran, dengan semua yang mungkin terjadi.

"Tapi apa?" Dia terus mendesakku.

"Ini, bajuku ke mana? Kenapa aku gini? Apa kita?" Aku menangis lagi. Tak kuasa jika harus mendengar jawaban menyakitkan.

"Bajumu basah, aku yang melepaskan. Keberatan?" Dengan santai dia menjawab. Astaga, kalau bisa ingin ku lempar granat pada mulutnya.

"Kamu? Kamu yang melepas bajuku? Kamu? Berarti?" Aku berusaha meyakinkan diri dengan yang baru saja ku dengar. Tangisku semakin menjadi. Kenapa aku bisa lolos dari mulut buaya malah masuk ke mulut harimau sih? Aku tak sanggup membayangkan yang terjadi. Anganku, mimpiku dan harapanku sirna. Semua yang ku jaga dengan segenap jiwa seakan melayang, pergi menjauh.

Di tengah isakanku, aku bertanya padanya, "apa kita sudah? Kamu tau maksudku kan?"

"Menurutmu?" Senyum sinis tersungging dari mulutnya, sembari dia memberi jawabannya yang sangat singkat. Singkat, namun sangat menyakitkan hati. Merobohkan seluruh tembok kokoh yang ku bangun dengan berfondasikan harapan dan mimpi.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang