"Masuk Kak." Aku mengajak Aldrich memasuki rumah saat mobilnya sudah memasuki halaman rumahku.
Aku menatap Aldrich syahdu dan ia balas menatapku dengan haru. Entah kebahagiaan ini akan bertahan sampai kapan. Tapi aku tahu, aku telah salah mengambil langkah. Aku telah bermain api. Aku menebar bara dan menuangkan bahan bakar di sekitarnya. Entah kapan angin akan bertiup membawa bara itu dan membakar seluruh bahan bakar yang telah ku tuang.
"Kay, makasi. Aku sungguh bahagia." Aldrich terus mengucapkan kata terima kasih dan mengungkapkan seribu satu kata cintanya melalui banyak kata.
Sedari kami keluar dari bioskop, mata Aldrich terus memandangku dengan tatapan berbeda. Ada binar bahagia disana dan juga tatapan penuh harap. Oh astaga, apakah aku sanggup menyakiti hati yang telah tulus mencintaiku ini? Karena aku tahu, sekarang pun aku telah menyakitinya.
Sepanjang perjalanan kami menuju rumah pun, Aldrich terus berceloteh tentang mimpi dan harapannya secara tersirat. Dan aku telah dimasukkannya dalam mimpi itu. Aku terharu, aku tersipu dan...aku tergoda. Sungguh indah angan dan asanya hingga aku ingin mengikutinya. Tapi, apa aku sungguh bisa melepaskan seseorang yang ada di sana? Oh, ini sungguh persimpangan buntu untukku.
Aku memandang manik matanya, tersenyum dan ku beranikan diri menyentuh dadanya dan berkata, "kak Al, berbahagialah sewajarnya. Aku mungkin tidak sebaik itu lho Kak." Aku merasa harus memperingatkan Aldrich sedari awal.
"Entah apa yang akan terjadi nanti, yang penting hari ini harus dijalani sebaik mungkin dan berbahagia sebanyak-banyaknya." Aldrich terus tersenyum menatapku.
"Masuk yuk Kak." Aku mengajaknya masuk sekaligus menghentikan omongan Aldrich tentang perasaannya.
Sudah menjadi hal wajar untuk mengenalkan siapapun temanku pada orang tuaku. Terlebih, Aldrich adalah teman istimewaku. Teman ya? Entahlah..
"Nanti diamlah, aku yang akan menjelaskan pada orang tuamu." Suara tegas Aldrich mengingatkanku pada hari-hari ospekku.
Hah hari itu, ternyata menjadi titik balik Aldrich mendekatiku. Betapa bodohnya aku yang baru menyadarinya. Ia benar-benar memanfaatkan jabatannya.
"Iya Kakak dismaku yang tampan." Uups, aku malah keceplosan!
Harus ya Kay pakai kata 'ku' dibelakang kata disma? Oh ayolah Kay, kenapa kamu sudah mengibarkan bendera kepemilikan? Apa dia tidak akan merasa risih? Dewi batinku melotot tajam padaku.
"Aku senang dengan kata-katamu. Gak sia-sia aku ngurusin ospek kalau dapat hadiah kamu." Suara Aldrich sungguh bisa membuat pipiku memerah dengan segera. Oh malunya, dia bukannya risih malah jadi girang!
"Ah udah deh Kak. Ayo masuk. Malu tau Kay." Aku sudah tidak kuat lagi menahan rona merah di wajahku. Aku yakin wajahku tak ubahnya seperti kepiting yang telah direbus.
"Kamu lucu banget sih Kay." Ucapnya sambil mengacak rambutku dan bergegas keluar mobil untuk membukakan pintu untukku.
"Kay.." Suara Mama terdengar dari ambang pintu. Aku dan Aldrich sontak mengarahkan pandangan ke arah sumber suara.
"Ayo Kak." Aku menarik tangan Aldrich dan ku hadapkan pada Mama. Aku memasang senyum jahat dibibirku.
"Mama ini Aldrich, kakak tingkat Kay, yang sebulan ini menyiksa Kay. Ingetkan Mam, tugas ospek Kay yang bejibun kemarin? Nah, ulah manusia ini nih Ma. Marahin aja Mam, dia udah bikin anak kesayangan Mama kesusahan." Aku memperkenalkan Aldrich pada Mama yang langsung mendapat tatapan tajam dari Aldrich. Sedangkan Mama langsung meloloskan tawanya yang membahana.
Aku dan Aldrich saling bertukar pandang, menatap heran pada reaksi penerimaan Mama.
"Mama kesurupan?" Tanyaku yang langsung mendapat pukulan mesra di bahuku dari Aldrich.

KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...