SERATUS SEMBILAN BELAS

35 6 0
                                    

ARKA POV

Gila... Gila... Gila.. Ini benar-benar gila! Hah...

Otakku masih tak habis pikir, bagaimana ini bisa terjadi dengan begitu saja? Oh shit, padahal aku sudah membayangkan wajah berbinar Mikha saat menerima lamaranku. Tapi nyatanya? Ah sudahlah..

Aku pun tak tahu apakah Mikha akan terharu atau malah merasa canggung saat menerima kejutan dariku. Gadis itu kan berbeda dari wanita pada umumnya. Pikirannya sangat mudah terbaca namun hati dan responnya selalu diluar kepala. Membuatku pusing dan hanya bisa menggelengkan kepala.

Awalnya aku datang kesini dengan hati bimbang dan berdebar. Bagaimana tidak, aku akan menengok kakak dari gadisku yang sedang terbaring sakit. Bagaimana itu bisa menjadi kebimbangan? Ah ini semua bermula dari saat aku menemukam catatan kecil dari kakak Mikha itu. Catatan yang membuat pikiranku berkelana jauh dan hatiku terasa tercubit.

"Nak Arka, apa yang kamu pikirkan?" Papa menepuk bahuku, menyeretku kembali pada kenyataan saat ini.

Kami kembali berbincang di ruang tunggu yang berada di lobi rumah sakit ini. Berbincang dengan pikiran yang saling berkejaran kesana kemari.

Aku mengerjap berkali-kali untuk menetralkan degup jantungku. Ah jantungku, rasanya terlalu penuh dengan kegembiraan saat ini.

Ya, aku bahagia. Sangat bahagia. Inilah yang ku inginkan, inilah yang ku nantikan. Bersanding dengan gadisku dan memilikinya untuk diriku sendiri.

"Arka." Papa kembali mengguncang bahuku.

"Ah... Iya... Gimana Pa?" Suaraku tersendat, tampak sangat gugup.

Ah sial, di depan mertua aku gugup! Apa Papa akan menganggapku tidak siap dengan permintaan Farel tadi?

"Ternyata kamu sama terkejutnya dengan Papa." Papa mendengus dan aku menghela nafas.

"Pa, lalu gimana?"

"Ini konyol nak." Papa tersenyum dengan paksa.

Apanya yang konyol sih? Ini sesuatu yang aku harapkan Pa! Aku ingin berteriak seperti itu.

"Bagiku, ini seperti mimpi yang menjadi nyata dalam waktu singkat Pa. Ini keajaiban bagiku." Aku tersenyum saat mengatakannya.

Ku tatap mata Papa, ingin ku sampaikan perasaanku yang sejujurnya pada Papa lewat sorot mataku. Semoga beliau menyadarinya.

"Tapi nak--" Ucapan Papa terpotong.

"Kuncinya ada di Mikha Pa. Jika hanya Arka yang siap, apalah arti semua ini. Pernikahan itu menyatukan dua hati kan Pa? Jika hanya satu hati yang menyetujui, maka akan pincang pernikahan ini." Miris sekali rasanya hatiku saat kalimat ini terlontar.

Ah sayangku, Mikha-ku, andai kamu tahu, inilah mimpiku sejak mengenalmu. Memilikimu untuk diriku sendiri. Apa ini obsesi? Ya, aku yakin ini obsesi! Bagiku, obsesi adalah rasa cinta yang melebihi kapasitas hati. Dan memang begitulah cintaku untukmu. Aku bisa menjadikan kakiku sebagai kepala dan sebaliknya, hanya untuk mendapatkan dirimu! Sebesar itulah cintaku Mikha. Segila itu cintaku padanya.

Andai cintamu sama sepertiku, maka aku akan menjadi lelaki paling berbahagia dan beruntung. Namun, meski cintamu hanya sebesar debu, bagiku itu sudah merupakan anugerah.

"Arka tau, Mikha belum siap. Bagi Mikha, aku adalah sebuah keraguan Pa. Bagi Mikha, cinta kami bagai fatamorgana. Seakan terlihat namun tak nyata. Arka masih mencoba meyakinkan dia saat ini. Mungkin jika surat perceraian dan hasil DNA itu keluar, maka hati Mikha tak akan lagi ragu Pa." Aku membuka sedikit prediksiku atas perasaan Mikha.

"Logika Papa pun demikian. Maaf nak." Papa menepuk bahuku.

Aku tahu ini akan terjadi, siapapun tak akan percaya jika tak melihat buktinya. Nyatanya anak itu memang lahir dalam kondisi ku yang masih terikat pernikahan. Semua pasti menyangka, dia anakku bersama Adinda dan Mikha yang masuk dalam kehidupan kami.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang