SERATUS DUA PULUH EMPAT

39 4 0
                                    

Aldrich masih terdiam setelah mendengar semua ceritaku yang tanpa ku saring sedikitpun. Biarlah dia mengetahui cerita lengkapnya. Matanya masih menatap lurus ke depan, namun aku tahu pikirannya sedang berkelana jauh, entah sedang menjelajah ke mana.

Aku masih bergeming, duduk disamping Aldrich tanpa sepatah kata pun ku ucapkan kembali. Kami duduk berdampingan saling berdiam diri, di taman belakang rumah Papa.

"Kak Al." Aku mencoba bersuara setelah mode diam kami berlangsung cukup lama.

"Aku kalah cepat dengan suamimu." Balas Aldrich lirih.

Aku menatap wajahnya dengan bingung, "hah?"

Aldrich balas menatapku dengan senyum hangatnya, senyum yang selalu ditunjukkan padaku.

"Dari awal, aku sudah tahu inilah resikonya mencintaimu. Inilah resikonya tetap bertahan disampingmu. Aku tahu rasa sakit ini pasti ku dapatkan. Rasa kecewa ini sudah pasti hasil akhirnya. Cepat atau lambat, inilah muara perasaanku. Karena sejak awal, aku sudah kalah cepat dengan Pak Fabian." Aldrich mendesah. Pandangannya dialihkan pada langit malam yang sedang gelap gulita.

Ah kemana perginya bintang-bintang malam ini? Mereka seakan ikut berduka atas kehilanganku.

"Awalnya aku sedikit pongah karena mengira lawanku hanyalah lelaki sampah itu. Namun justru aku tak memperhitungkan sama sekali, jika lawanku sebenarnya termasuk kelas kakap. Entah cinta apa yang ditawarkan padamu, namun melihat interaksimu dengan Pak Fabian, aku sudah pesimis sejak awal. Cintaku tak sebanding dengan cintanya. Dan pengorbananmu terbilang cukup besar dan sangat berani. Andai itu yang ku dapatkan, aku pun tak akan melepaskanmu." Aku meringis mendengar penuturan Aldrich.

"Kak Al--" Aku menggantung ucapanku tanpa tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa.

"Tak perlu kamu jelaskan Kay. Aku sudah mengira seperti inilah akhir dari perasaanku. Karenanya, sejak mengetahui siapa lawanku dalam mendapatkanmu, aku merasa cintaku telah berubah menjadi cinta platonik. Agak miris memang, karena nyatanya aku yang memaksakannya menjadi platonik." Aldrich tertawa sumbang. Aku hanya meringis tertahan.

Cinta platonik? Hah omong kosong apa lagi yang akan kamu gaungkan Kak Al? Cintamu bukan platonik, aku sangat paham dan sempat merasakannya juga. Bukan berarti aku memiliki rasa untukmu, tapi hatiku mengatakan jika kamu masih menginginkan aku untukmu sendiri.

"Kak Al yang tampan, idola jurusan, Kay yakin gak lama lagi Kak Al akan menggandeng cewek cantik dan seksi. Tuh angkatan Kak Al banyak yang antri untuk deketin kakak, kan?" Aku mencoba bercanda.

Aldrich tersenyum masam menatapku.

"Benarkah aku tampan?"

"Tentu saja! Tanya saja Winda kalau gak percaya."

"Kalau aku tampan, kenapa kamu gak mau sama aku?"

Bibirku membeku mendapatkan serangan dadakan itu. Aldrich tertawa melihat wajah diamku.

"Dua wanita yang tak bisa ku percaya adalah kamu dan Winda." Ujar Aldrich disela tawanya.

Aku mengernyit, "kok bisa?"

"Kamu dan Winda bilang kalau aku tampan, nyatanya tak ada satupun dari kalian yang memilihku. Malah Winda sekarang berkencan dengan kak Ken yang jelas lebih tua dariku. Nah, bagaimana aku bisa mempercayai ucapan kalian?" Aldrich terkekeh.

Mataku menatap wajah Aldrich yang tengah tertawa. Wajah teduh itu yang biasanya melindungiku dan meredakan sedikit ketegangan dalam hubunganku dengan Bang Arka. Ah wajah itu, tak akan mampu aku nikmati lagi sekarang.

"Kalian satu tipe. Sama-sama menyukai pria matang dan sedikit nakal. Ah apa aku harus nakal dulu ya biar bisa mendapat perhatian darimu?" Aldrich mengerlingkan matanya menatapku dengan senyum yang ku anggap sangat...aneh atau mesum?

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang