ENAM BELAS

64 7 0
                                    

Ku tatap gedung di depanku. Ah tak terasa, sebentar lagi aku meninggalkan bangunan yang menyimpan banyak kenanganku. Kenangan manis dan kenangan burukku.

“Kay.. “ Aku mendengar namaku di panggil dari belakang. Suara bening yang sangat ku kenal.

Shit! Kenapa harus bertemu sepagi ini sih? Bikin moodku langsung jatuh saja! Aku berusaha merubah ekspresi wajahku. Aku hendak membalik tubuhku untuk melihat pemilik suara itu. Namun lengan hangatnya sudah merangkul bahuku.

“Lurus aja Neng jalannya, gak tengok kanan kiri. Di panggil dari tadi ga jawab.” Cerocos gadis manis di sampingku.

“Hehe.. Aku lagi ngelihat sekolah kita. Gak terasa ya bentar lagi kita bakal pisah sama sekolah ini, ah uda tiga tahun ternyata.” Aku berkata dengan santai, berusaha menutupi gejolak hati. Berusaha menahan diri untuk tidak mencaci maki.

“Inget gak Kay, gerbang ini saksi bisu perkenalan kita pertama kali dulu. Aku yang telat hampir aja gak bisa masuk gara-gara gerbangnya mau ditutup. Untungnya ada kamu yang roknya pura-pura tersangkut di gerbang. Hahaha lucu banget sih waktu itu.” Gadis manis itu menerawang sambil tertawa, mungkin ingatannya memutar lagi kenangan pertemuan pertama kami.

Aku ikut tersenyum. Kemudian mendesah. Benar, saat itu sangat membahagiakan. Perilaku kamu saat itu membuat kita menjadi dekat. Awal yang menyenangkan. Saat itu juga, ah sudahlah. Aku tak ingin mengingatnya.

“Pas aku uda masuk, taunya tasmu tersangkut beneran di gerbang dan saat itu si Danen lari kenceng banget, taunya dia telat juga. Hahaha lucu banget sih pas itu. Dan akhirnya, taraaaa pasangan fenomenal kita, tiga tahun tak tergoyahkan! Aku iriiiii!” Hah menyebalkan! Gadis itu membicarakan dengan jelas sesuatu yang coba ku halau dari pikiranku beberapa saat yang lalu.

Dan apa katanya? Dia iri? Aku tahu sekali, kamu pun mencintai Danen sejak pertama kita bertemu, sama sepertiku. Hanya saja aku diam selama ini karena aku menghargai kamu sebagai sahabatku. Hah sahabat! Masih pantaskah kamu ku sebut sahabat, Cindy?

Aku terdiam, tak menanggapi ucapan Cindy. Rasa sakit kembali menyerangku. Seketika aku ingin menyemburkan seluruh kata-kata pedas padanya. Ingin ku lontarkan berbagai pertanyaan padanya. Pertanyaan pertama yang ingin ku ucapkan adalah, bagaimana rasanya tidur dengan kekasih sahabatmu sendiri Cindy? Apa menyenangkan? Setelah memendam rasa selama tiga tahun, apa sangat membahagiakan ada di pelukan Danen malam itu?

Sungguh aku ingin mencercanya sekarang. Tapi mulutku rapat, tak mau terbuka. Entahlah, karena apa. Mungkin sebenarnya hatiku sendirilah yang belum siap mendengar alasannya.

“Kay, ngelamun aja, kenapa sih?” Cindy menyenggol sikuku.

“Eh aku..” Gelagapan aku menjawab. Tak tahu apa yang ingin ku ucapkan.

“Segitu sayangnya sama sekolah ini ya, sampai ngelamunnya ga selesai-selesai. Sayang sekolahnya atau sayang sama siswanya? Cie... Dih Kay, kayak kita ga bakal ketemu aja, toh kita juga bakal sejurusan lagi, ya kan?” Cindy berkata sambil matanya melihatku dengan tatapan menggoda. Aku membalas tatapannya dengan datar. Ah Cindy, apa kamu tidak merasakan apapun setelah kejadian malam itu? Kenapa bicaramu padaku seolah tidak pernah terjadi apapun.

Tiba-tiba aku tertawa. Aku sungguh ingin menertawakan keadaan ini. Mengapa hanya aku yang terpuruk. Bahkan para pelakunya seakan tidak merasakan apapun.  Apa hati mereka terbuat dari baja? Hingga tidak bisa merasakan apa yang ku rasa? Aku terus tertawa, sambil menghapus beberapa tetes air yang keluar dari sudut mataku. Sial!

“Nah kan, aku tau kamu pasti lupa. Kita kan uda di terima di Universitas Garuda. Jadi gak bakal kepisah deh.” Ucap Cindy tanpa beban.

“Hahaha ya, kamu benar.” Aku tertawa palsu, mengimbangi tingkah lakunya yang juga palsu. Sungguh sial, kenapa juga aku dulu mendaftar di jurusan yang sama dengan mereka. Apa aku sanggup bertahan hingga lulus kuliah ya? Sedangkan tiap hari aku akan melihat mereka terus. Hah..

“Masuk yuk Kay, hari ini tanda tangan terus gladi bersih aja kan ya? Setelah itu makan bakso yuk di langganan kita.” Ucap Cindy sambil menarikku, mengagetkanku dengan suaranya. Aku mengikutinya dengan pasrah. Kami berjalan bersama melewati gerbang saksi bisu perjalanan cinta dan persahabatanku.

Belum jauh kami melewati pintu gerbang, tampak dari jauh aku melihat sesosok tubuh yang sangat ku kenal baik. Duh, kenapa sih harus bertemu mereka dalam waktu yang bersamaan gini? Aku memaki dalam hati.

Aku ingin menghindar, tapi langkah kaki lelaki itu mendekat dengan cepat.

“Bisa kita ngobrol sebentar?” Ucap Danen begitu tiba tepat dihadapanku dan Cindy. Matanya menatapku penuh harap.

Aku terdiam. Bingung akan menjawab apa. Namun sebenarnya lebih karena tidak tahu siapa yang ingin diajak Danen berbicara. Sejak terakhir kami berbincang, tidak ada lagi komunikasi antara kami. Aku menganggap hubungan kami sudah berakhir.

“Baiklah, aku pergi dulu. Sampai ketemu di kelas ya, Kay.” Cindy mendahuluiku menjawab. Dia melenggang menjauhi kami tanpa beban. Ah santai sekali dia.

“Mau ngobrol sama aku? Oh ku kira kamu ingin ngobrol sama Cindy. Ngebicarain kelanjutan hubungan kalian.” Sindirku pada Danen setelah memastikan Cindy tak lagi di dekat kami.

“Kay, jangan seperti ini. Aku sungguh masih mencintaimu. Aku gak pingin pisah sama kamu. Aku mohon maafkan aku, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku janji aku akan berubah Kay, aku akan buktikan itu.” Rengek Danen padaku. Aku sungguh muak dengan tingkahnya beberapa hari ini. Selalu merengek hal yang sama dengan wajah memelas.

“Udah deh, aku udah bosen dengernya. Lagian mau kamu memohon seperti apapun itu gak akan merubah keputusanku, Danen.” Aku berkata lirih. Berusaha menutupi luka yang masih basah ini.

“Tapi aku janji akan berubah Kay.” Ucap Danen.

“Kamu berjanji akan berubah?” Tanyaku.

“Aku janji Kay.” Jawab Danen dengan mantap.

“Apa kamu lupa sayang? Kamu bisa berjanji akan berubah. Tapi pada kenyataannya ada satu hal yang tidak mungkin bisa kamu ubah, kamu sudah pernah melakukannya dengan Cindy. Itu akan melekat selamanya. Dan aku gak mau barang bekas, apalagi bekas sahabatku.” Aku memberinya senyuman pada akhir perkataanku.

Aku ingin mengingatkannya, bahwa tidak ada lagi kemungkinan diantara kami. Atau sebenarnya aku mengingatkan diriku sendiri untuk tidak mengharapkannya dan menutup hati untuknya.

Aku melangkah pergi, menjauhinya, meninggalkan Danen yang terdiam meresapi kata-kataku. Aku menoleh ke belakang, ingin melihat lelaki yang masih bertahta di hatiku. Dia bergeming, menunduk sambil menarik rambutnya.

Aku tersenyum masam. Sepertinya kita memiliki luka yang sama, sayang.

Drrttt.. Drttt..

Ponselku berbunyi, memecah lamunanku. Segera ku cari di dalam tasku. Aku tersenyum melihat nama yang tertera di layar. Dan di hadapanku, tanpa ku tahu kapan dia berbalik, Danen menatapku, matanya mengisyaratkan tanya.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang