DELAPAN PULUH EMPAT

33 4 0
                                    

"Kay dan Winda, jangan macam-macam. Kakak gak lama. Al, awasi mereka." Kendrick memberikan perintahnya.

Aku terdiam dan menatap punggung Kendrick yang menghilang di balik pintu dengan pandangan kosong. Entah apa yang akan terjadi sebentar lagi

Dengan segera Aldrich menghampiri aku dan menatapku penuh kemarahan. Ia mencengkeram lenganku dan membawaku duduk di sofa, bersebelahan dengannya, tak menggubris tatapan penuh tanya dari mata Winda.

"Hentikan Kay. Kamu bersamaku!" Ucap Aldrich dari giginya yang terkatup dengan setengah membentak. Matanya menatapku tajam.

Aku mulai merasakan hawa panas di sekujur tubuhku. Entah mengapa pikiranku seakan mengirimkan sinyal tanda bahaya.

Jika Bang Arka bergabung dengan kami di ruangan ini, maka dia akan tahu aku disini dan bersama Aldrich. Whoa kombinasi yang sempurna untuk membangkitkan amarahnya. Kamu sangat luar biasa cerdas, Kay! Dewi batinku mencibirku dengan ucapan sarkasnya. Sialan!

"Kak Al, ayo ke kamar mandi." Aku ingin melarikan diri.

"Untuk apa? Menghindari Bang-Ar-ka?" Tanya Aldrich lirih di telingaku. Bahkan ia menekankan setiap katanya.

Oh Tuhan, dia sungguh mengetahui semuanya. Namun mengapa dia masih mau berada di dekatku? Bukankah aku termasuk wanita hina? Yang rela menjadi simpanan pria beristri?

"Kak Al..." Ucapanku terhenti. Aku sungguh tak tahu harus mengucapkan apa.

"Kenapa harus dia Kay?" Pertanyaan Aldrich sungguh langsung membuatku menciut. Aku pun sama Kak, aku tak tahu jawaban dari semua itu. Kenapa harus dia? Kenapa harus Bang Arka yang sudah terikat pernikahan? Kenapa aku tidak mau melepaskannya?

Aku menatap wajah Aldrich. Andai kamu yang di pilih hatiku, tentunya saat ini aku bisa menjalani hubungan ini dengan kepala mendongak Kak, aku bisa menggenggam tanganmu di mana pun aku mau, aku bisa mencintaimu secara terbuka!

"Maafin Kay, Kak Al." Aku berbisik. Aku sungguh hanya ingin meminta maaf pada lelaki di sampingku ini.

Aku sudah banyak sekali merepotkan Aldrich. Membuatnya dalam situasi yang tidak mengenakkan. Dan dengan sengaja, Aldrich menempatkan dirinya di depanku, menjadi tameng hidupku untuk menutupi kebusukan yang sedang ku timbun setiap hari.

Aldrich menatapku dalam. Pandangan kami bertemu, seakan banyak kata dalam benak namun sulit terucap. Bibirnya tertutup membentuk garis lurus yang tegas. Entah apa yang ada dalam pikiran Aldrich saat ini. Tapi satu keyakinanku, dia seharusnya mulai muak padaku, itu tanggapan normalnya. Dan aku sudah siap untuk semua itu.

"Kita bicara lain waktu, oke? Mulai sekarang, angkat kepalamu, aku yang akan menjagamu. Gunakan aku sesukamu." Aldrich tersenyum padaku. Oh gosh, terbuat dari apa hatinya itu? Kenapa dia baik sekali? Aku hampir tak percaya dengan pendengaranku.

Aku menatap sendu tepat di mata Aldrich. Ada kemarahan dan kekecewaan di sana. Namun, ada banyak kasih sayang yang terlihat nyata di dalamnya. Oh Kak Al, aku merasa menjadi pecundang saat ini. Aku yang berulah, kamu yang menanggung bebannya. Maafkan aku Kak!

"Kalian berdua bisik-bisik apa sih? Dih, kalau mau mesra-mesraan nanti dulu napa? Nungguin Kak Ken dulu. Biar aku ada temen ngobrolnya, gak cuma liat kalian yang sepertinya dari tadi udah kepingin ciuman aja." Winda berkelakar. Aku memutar bola mataku dengan tajam. Astaga, saringannya hilang lagi!

Aldrich tertawa mendengarnya. Ia mengusap puncak kepalaku dan menatapku dengan pandangan yang tak ku ketahui artinya.

"Jika aku belum bisa masuk di hatimu, maka aku akan berdiri di sampingmu sebagai sahabatmu, menemani dan membantumu melewati hari-hari terberatmu dan juga hari bahagiamu sampai aku bisa masuk ke dalam hatimu." Bisik Aldrich tepat ditelingaku.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang