SEMBILAN PULUH SEMBILAN

34 4 0
                                    

Deru nafasku masih memburu dengan hawa panas yang ku rasa semakin menikam tajam seluruh tubuh sejak ku dengar suara yang sangat ku hafal. Satu yang langsung terpikir olehku, aku harus memadamkan dulu api yang terlanjur berkobar itu.

Aku segera menghampiri tubuh itu dan mendekapnya erat. Ku harap ini mampu meredam segala gejolak hatinya. Kata maaf pun ku ucapkan meski ku tahu itu tak berarti banyak.

Maaf itu kini tak bernilai. Aku tahu kesalahanku sangat fatal kali ini. Tak apalah, yang penting aku tulus mengucapkannya. Bukan hanya tak memberi kabar tapi dia memergokiku tengah bersama Aldrich, lelaki yang paling dicemburuinya.

"Kay yang salah Abang. Kay yang gak pamit. Kay ingin memberi kejutan untuk Kak Farel." Segera ku lanjutkan perkataanku setelah ku lihat tubuhnya mulai sedikit tenang.

Tak ada lagi deru nafas yang memburu darinya, meski ku tahu tak semudah itu amarahnya padam. Ku lirih Winda di sisi kiriku, wajahnya tampak kaku dengan tatapan ngeri padaku. Oh ayolah, aku pun merasa takut saat ini. Aku tak berani menatap Aldrich yang tadi tersungkur di lantai. Entah dia sudah bangkit atau masih di lantai. Aku hanya menatapnya sebentar, sebelum tadi ku peluk lelaki dengan amarah yang cukup tinggi ini.

Otakku masih terus berputar mereka-reka segala kejadian yang berlangsung cepat ini. Hanya beberapa yang bisa ku tata sebagai sebuah pertanyaan. Apa yang dilakukan Bang Arka disini? Bagaimana dia bisa menemukan aku? Bahkan akupun tidak memberitahunya tentang rumah ini!

Tiba-tiba saja tubuhku terlepas dari tubuhnya, sedikit kasar memang tapi ya sudahlah, ini juga salahku. Bang Arka berjalan menjauhiku, dia menuju ke arah dapur. Entah apa yang akan dilakukannya.

Aku menatap Winda dan Aldrich bergantian. Ku dekati Aldrich dengan perasaan kacau. Entahlah, rasanya aku tak tega melihatnya. Dia yang menolongku tadi, namun dia tak mendapatkan perlakuan pantas darinya.

"Kak, maaf." Hanya ini yang bisa ku sampaikan. Aku tak tahu harus melakukan apa selain meminta maaf.

"Kenapa Bang Arka bisa disini Kay?" Winda yang memberi tanggapan. Aldrich memperhatikan kami dengan seksama.

Aku tahu, dia juga sedang menunggu jawabku.

"Sumpah! Aku juga bingung. Aku tak memberinya kabar apapun. Kalian orang pertama yang ku bawa kemari. Aku tak pernah memberitahu siapapun alamat rumah ini." Ku acungkan jari telunjuk dan jari tengahku sebagai penegasan.

"Serem, semacam paranormal gitu ya?" Wajah Winda penuh tanda tanya.

"Kay, sepertinya, dia tadi bersama orang tuamu." Kali ini ucapan Aldrich sukses membuat mataku melebar.

Bagaimana bisa Aldrich menyimpulkan seperti itu? Dia kan tidak tahu seperti apa hubungan keluargaku dengan Bang Arka. Dia juga tidak tahu jika Bang Arka dan Papa memiliki perjanjian tak tertulis.

"Kok Kak Al tau? Dan kenapa bisa kakak menyimpulkan begitu?" Tanyaku sedikit curiga. Ada apa dengan mereka? Apa mereka sudah saling bertukar informasi? Ah sepertinya itu tidak mungkin.

"Karena aku--"

"Mikha!" Suara Bang Arka memutus segala ucapan yang akan diucapkan Aldrich.

Aku terlonjak, dengan segera tubuhku merespon dengan memberi jarak yang cukup jauh dari Aldrich.

"Saya perlu bicara dengan kamu, Al. Berdua. Sekarang." Dengan tatapan tajamnya Bang Arka mendekati Aldrich.

"Abang pinjam kamar Farel dulu." Tanpa menunggu jawabanku Bang Arka memimpin jalan menuju lantai dua rumah ini.

"Abang," Aku sedikit berlari menyusulnya, menghalangi jalannya, "jangan berkelahi, semua salah Kay, Bang. Kay yang mengajak Kak Al kesini." Lirihku kemudian.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang