SEMBILAN PULUH DELAPAN

32 5 0
                                    

ARKA POV

Aku masih menatap kedua orang paruh baya di hadapanku ini. Tersurat goresan kelelahan di dahi mereka.

"Tapi, mungkin ini berlebihan nak. Maafkan kami, lebih baik lupakan saja permintaan kami yang tak tahu malu itu." Papa Mikha tampak ragu setelah mengucapkan permintaannya.

Ah mungkin sifat meragu Mikha berasal darinya. Tapi, dengan statusku saat ini, orang tua mana yang dengan bodohnya menyerahkan anaknya pada suami orang? Jika tidak dalam keadaan terpaksa seperti ini. Apalagi ada perjanjian yang dengan bodohnya ku setujui. Perjanjian menjaga jarak dari gadisku selama 2 bulan atau hingga masalahku selesai. Cih, bahkan sebulan saja aku tak tahan.

Aku bergidik saat membayangkan jika Papa dan Mama tahu kemarin aku sudah menyekap anaknya di apartemen dan melanggar perjanjian itu. Duh semoga tak ada mulut bocor yang mengatakannya pada mereka.

"Kay sudah besar. Tapi saya tidak bisa meninggalkannya sendiri. Saya tidak tega dan saya tidak mau. Kay takut sendirian dan Kay takut ditinggalkan. Tapi Farel juga butuh segera diterbangkan ke Negara S." Kali ini Mama Mikha sudah sangat deras tetesan air matanya. Bahkan tubuhnya ikut bergetar.

Begitu besar cintanya untuk Mikha, meski ku tahu, dia bukanlah ibu kandungnya. Ia sangat memahami gadisku itu, mungkin trauma masa kecilnya membuatnya sangat dekat dengan ibu sambungnya begitu pula sebaliknya. Hubungan yang hangat dan saling melengkapi.

"Pa, Ma. Apa Mama dan Papa percaya pada Arka?" Entah sejak kapan aku bisa sesantai ini pada mereka. Bahkan aku berbicara selayaknya pada Ayah dan Ibuku.

Papa dan Mama mendongakkan kepala. Mereka menatapku dan menimbang ke arah mana ucapanku bermuara.

"Arka tau dengan status Arka. Karena itu, Arka pun membatasi diri hingga hasil itu keluar. Tapi, Arka tetap selalu memantau kondisi Mikha. Arka tidak bisa menjauh dari Mikha, rasa ini terlalu besar untukku." Aku sedikit menghela nafas, membebaskan sedikit bebanku.

"Arka sayang Mikha, Ma, Pa. Status Arka memang belum jelas. Tapi bayi itu tanpa tes DNA pun sudah jelas. Hanya saja Arka ingin Mikha melihat bukti tertulisnya karena saat ini Mikha sangat ragu." Aku menunduk membayangkan keraguan Mikha, gadis itu ragu bukan karena adanya bayi itu tapi ragu karena masa laluku.

"Serahkan urusan Mikha pada Arka, Ma, Pa. Arka akan menjaganya. Mama dan Papa bisa dengan tenang mengurus Farel. Arka janji, tidak akan menyakitinya." Dengan yakin ku ucapkan janjiku, bahkan tanpa ada tekanan sedikit pun. Entah kenapa, keyakinanku tinggi saat ini.

Mama dan Papa saling menatap. Seperti menimbang baik dan buruknya ucapanku.

"Kay sudah dewasa, hanya saja dia tidak terbiasa sendiri. Papa hanya minta tolong untuk mengawasi saja. Papa tahu bagaimana perasaan kalian. Hanya saja, Papa tetap pada pendirian Papa, jangan melampaui batas sebelum jelas status nak Arka. Ada hati yang harus nak Arka jaga. Ada kehormatan yang harus Mikha jaga. Dan ada nama baik yang harus kalian jaga." Papa memberikan wejangannya.

Aku sedikit tersenyum malu mendengarnya. Apa Papa tahu maksudku ya?

"Tetaplah menjalani kehidupan normalmu, nak. Selesaikan dulu urusanmu. Setelah itu lakukan apapun yang kalian ingin. Namun saat ini, yang kami minta jaga jarak dulu. Dan permintaan kami tadi, lupakan saja. Maaf." Kini ucapan Mama menghantam ulu hatiku. Sepertinya aku yang terburu-buru.

"Maafkan Arka Pa, Ma. Baiklah, sesuai permintaan Mama dan Papa, Arka jaga jarak dengan Mikha. Tapi Arka akan selalu mengawasi Mikha selama Mama dan Papa di Negara S. Tapi Arka mohon, izinkan Arka mendekati Mikha di luar lingkungan kampus. Arka ingin memastikan kondisi Mikha dengan mata kepala sendiri. Izinkan Arka melihatnya di rumah Pa." Aku menatap mata Papa dengan binar penuh pengharapan.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang