SERATUS EMPAT

46 7 0
                                    

Sinar mentari sudah mengusik wajahku sejak tadi. Sinar yang cenderung panas membelai wajahku. Sudah jam berapa ini? Kenapa rasanya aku baru sebentar tertidur namun matahari sudah terasa terik.

Aku mengedarkan pandanganku, mencari sesosok tubuh yang sangat ingin ku lihat pagi ini. Sosok yang biasanya sudah berkoar-koar membangunkan aku jika aku masih bermalas-malasan diatas kasur miliknya.

Sungguh aku berharap jika kejadian semalam hanyalah mimpi. Air mataku menetes tanpa permisi, saat otakku mengirimkan sinyal bahwa semalam adalah nyata. Hah, kini aku benar-benar sendiri, Mama Papa sedang bersama Kakak.

Mataku terus saja memandangi kamar ini. Mengingat kembali kenangan yang sempat ku torehkan di ruangan ini bersama Kakak.

"Udah bangun sayang?" Aku terlonjak saat mendengar suara itu menyapaku.

Mataku segera menangkap tubuh yang sedang menatapku. Sejak kapan dia memanggilku 'sayang'? Biasanya dia akan memanggil begitu hanya saat dia sedang menegaskan kepemilikannya.

"Hmm." Dan entah kenapa hanya ini yang mampu keluar dari mulutku.

Aku berusaha tersenyum untuk mengganti jawaban asalku tadi. Namun sialnya, senyumku tercetak sangat kaku.

"Ada apa, Mikha?" Lelaki itu, yang sudah menjungkir balikkan hatiku beberapa saat ini, datang di hadapanku, membelai lembut puncak kepalaku.

Ku gelengkan kepalaku sambil mencoba tersenyum dengan wajar.

"Abang dari mana? Kok udah bangun?" Tanyaku.

Wajah Bang Arka mendadak terlihat tegang. Ada apa ya?

"Kenapa Bang?" Aku semakin penasaran.

"Abang belum tidur malah." Jawab Bang Arka sambil terkekeh.

Mataku membulat dengan sempurna. Belum tidur? Apa saja yang dilakukannya?

"Bang Arka habis ngapain kok gak tidur?" Suaraku menghangat saat mendengar kenyataan itu.

Entah kenapa, hatiku merasa bersalah pada lelaki itu. Sejak kemarin aku tak pernah memikirkannya sama sekali. Aku hanya fokus kepada kakakku dan tak menghiraukan lelaki ini. Lelaki yang merupakan kekasihku. Kekasihku sekaligus suami wanita lain. Oh gosh, betapa buruknya kelakuanku!

"Abang nungguin kamu tidur. Menyelesaikan urusan yang belum selesai." Aku mengernyit mendengar penjelasannya.

Menyelesaikan urusannya? Urusan apa? Apa perceraiannya? Oh baguslah. Itu yang ku inginkan. Bolehkah aku berharap? Bolehkah mulai saat ini aku egois? Mungkin, aku akan menempuh jalan itu.

Aku akan menjadi wanita yang tak berperasaan, yang akan membuat Bang Arka selalu berada di sisiku. Masa bodoh dengan istri dan anaknya. Aku juga mau bahagia. Aku juga mau bersikap egois. Aku juga ingin didampingi. Aku tak ingin sendiri.

"Apa ada hal penting yang terjadi selama aku tidur Bang? Mama dan Papa bagaimana? Kakak?" Aku langsung memberodongnya dengan beragam tanya.

"Mereka sudah mendarat dengan selamat. Farel sudah ditangani. Mungkin dua sampai tiga hari lagi operasi akan dilakukan." Jawab Bang Arka.

"Apa Mama udah nelpon Bang?"

"Pagi tadi Abang yang telpon. Dan tak lama Roy yang mengabari."

"Roy?" Aku mendadak bingung dengan nama baru itu.

"Teman Abang yang di rumah sakit kemarin. Dokter yang menangani Farel."

"Eh iya ding, dokter ganteng yang meriksa Kay kemarin kan namanya Roy ya Bang." Sontak aku bersorak saat ingatanku menampilkan wajah tampan yang tersenyum hangat padaku saat aku di rumah sakit.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang