DELAPAN PULUH

37 6 0
                                    

"Itu...itu...itu kakakku. Iya benar, itu kakakku."

Aku terus terngiang kata-kata yang sudah aku ucapkan pada Aldrich tadi. Kalimat yang jelas merupakan suatu kebohongan. Kebohongan pertamaku, ah bukan, ini yang kedua kalinya. Pertama kali aku menyebut Bang Arka sebagai kakak saat Aldrich memasukkan nomor ponselnya di dalam ponselku. Entah berapa kali kebohongan lagi yang harus aku ucapankan untuk menutupi hubungan terlarang ini.

Ah sial, bagaimana bisa dia memergokiku saat sedang menelepon Bang Arka? Sejauh mana dia mendengarnya ya? Mungkinkah dia tidak mendengarnya? Aku mengingat kata terakhir yang ku ucapkan saat menelepon Bang Arka tadi. Aku menyebut namanya dengan sangat keras.

"Kamu tadi terlalu lama ke kamar mandinya, makanya aku nyusul, mau nyariin kamu, takut kamu kesasar." Begitu ucap Aldrich tadi saat ku tanya kenapa bisa ada di sekitar kamar mandi. Kemudian tadi dia tertawa tapi seperti terpaksa. Ah entahlah.

Aku kembali mengingat ekspresi Aldrich tadi dan pertanyaan yang dilontarkannya, aku sedikit yakin dia mendengarnya. Kalau dia mendengarnya bagaimana dong? Aarrggh aku tak berani membayangkannya. Aku harus menjelaskan apa pada Aldrich? Apa aku akan bilang kalau aku ini simpanan Bang Arka?

Menyebalkan! Kenapa aku sampai terbawa emosi sih saat berbicara dengannya di telepon tadi? Ini semua gara-gara Bang Arka yang terus saja mendiamkan aku. Jika dia menjawab panggilanku, aku yakin tidak akan berteriak untuk memanggilnya.

Ya sudahlah, menyesali yang sudah terjadi juga percuma saja. Kata-kata yang sudah keluar tidak mungkin akan ku telan kembali.

"Yuk, turun semua." Ucapan Kendrick membuyarkan lamunanku.

Aku menatap sekeliling, tanpa sadar kami telah tiba di sebuah kafe. Tadi setelah Aldrich memergokiku sedang menelepon Bang Arka, kami berempat pergi makan siang. Dan sekarang ternyata aku tak sadar jika telah sampai di lokasi.

"Aku yang akan bantuin Kay, Kak." Ucap Aldrich dengan tiba-tiba dan terdengar sangat tajam saat Kendrick menyentuh lenganku, hendak membantuku berjalan.

Aku menatap bingung ke arah Aldrich yang juga sudah berada di sampingku, dia tidak mengenakan tongkatnya dan bergegas menarik lenganku. Tanpa menunggu respon semua orang, dia segera memapahku dengan lembut hendak menuju pintu masuk kafe. Tapi aku merasa, tubuhnya sedikit menegang.

"Kak Al, pakai tongkatnya ih. Nakal nih. Tadi dokternya kan bilang selama dua minggu ini pakai tongkat dulu biar tulang dan ototnya terbiasa lagi." Aku mencoba mengingatkannya.

Aldrich memandangku dengan tatapan yang sulit ku artikan.

"Apa hanya saat aku sakit kamu peduli padaku? Kalau begitu, aku ingin sakit aja." Jawaban Aldrich membuatku melotot.

Saking terkejutnya, bukan hanya aku yang terdiam, tapi kami bertiga juga terdiam.

"Otak itu digunakan buat mikir bener. Mulut itu digunakan buat ngomong bener!" Kendrick yang pertama bisa merespon ucapan Aldrich, meskipun disertai toyoran di kepala adiknya.

Winda tertawa terbahak mendengar itu.

"Kak Ken, kayaknya pas jatuh kepala Kak Al ikut kejedot deh." Winda terkikik.

"Dia emang gegar otak ringan sih." Kendrick menimpali ucapan Winda.

"Ada yang konslet itu otaknya Kak. Jangan malah di toyor, nanti lebih parah konsletnya." Winda masih terus menanggapi.

Entah apalagi yang Kendrick dan Winda ucapkan dalam rangka saling melempar sindiran untuk Aldrich. Tapi aku merasa Aldrich terlalu diam dan menyembunyikan sesuatu. Dia tidak seperti tadi saat menanggapi kicauan dari Kakaknya. Aku jadi semakin yakin, Aldrich sudah mengetahui semuanya. Tentang aku, Bang Arka dan hubungan terlarang kami.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang