DELAPAN PULUH DUA

28 7 0
                                    

ARKA POV

Di sinilah aku sekarang. Berdiri di ruangan putih dengan hiasan bunga di dinding yang sangat beraneka ragam warnanya. Aku memandang sesosok tubuh di hadapanku yang sedang meringis menahan sakit, bahkan air matanya ikut menetes sedari tadi. Mulutnya juga tak berhenti berteriak dan di dahinya keringat bercucuran dengan sangat deras.

Entah kenapa, aku ikut merasakan sakit saat melihat sosok itu. Bukan karena aku bersimpati padanya, tapi aku teringat dengan ibuku dan sosok wanita yang kini memenuhi setiap inchi hati juga pikiranku.

Aku memandangi wajah sosok yang kesakitan itu dengan hati yang berdenyut nyeri. Perjuangannya saat ini harusnya bisa meluluhkan hatiku tapi nyatanya malah menambah perih lukaku. Aku tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan ini.

"Sayang, kamu mau ke mana?" Suara lemah itu menyapaku saat kakiku hendak melangkah keluar ruangan itu. Aku membalik badan menatapnya.

Tak lama kemudian, teriakan kesakitan dari wanita itu kembali terdengar. Aku mendesah kasar, tak sanggup lagi mendengarnya.

"Kamu mau ke mana Arka? Tunggulah disini, temani istrimu dalam perjuangannya." Sekarang suara lelaki paruh baya yang ada di sofa ruangan itu yang menyapa gendang telingaku.

Aku mengalihkan tatapan padanya, pada Papa mertuaku.

"Arka nunggu di depan Pa. Arka tidak bisa melihat ini." Ujarku dengan suara yang ku buat selembut mungkin.

Bagaimana pun, bukankah kita harus hormat kepada orang tua?

"Istrimu kesakitan tapi kamu malah enak-enakan di luar. Jangan hanya mau enaknya aja Arka! Dasar tidak tahu diri, meninggalkan anak istri demi wanita lain!" Cibiran pedas dari wanita paruh baya yang sibuk mengusap keringat di dahi anaknya, kembali ku dengar.

Ini bukan pertama kalinya aku mendengar hal menyakitkan seperti ini dari mulut Mama mertuaku. Dan aku masih berusaha menahannya hingga sekarang.

Tapi saat mendengarnya mencemooh Mikha, aku sungguh tak sanggup menahannya. Gadisku tidak bersalah, dia bukan sumber dari permasalahan rumah tanggaku. Gadisku justru yang mampu mengangkatku dari jeratan belenggu hitam.

"Ma, sudahlah. Bukan saatnya membahas itu sekarang." Papa mertuaku menghardik istrinya.

Aku tak peduli lagi, aku melangkahkan kakiku keluar ruangan itu dan mendudukkan diriku di kursi panjang yang berada di depan ruangan itu.

Ku pejamkan mataku dan ku pijat pelipisku. Pening sekali rasanya kepalaku. Bukan wanita yang sedang kesakitan di dalam sana yang ku pikirkan, tapi aku memikirkan Mikha. Gadisku sedang apa saat ini? Bagaimana kelanjutan dramanya tadi siang ya? Aku sungguh merindukan dirinya.

Tak berapa lama, derap langkah wanita dengan jas dokter di tubuhnya memasuki ruangan diiringi 2 perawat. Aku membuka mataku dan menatapnya tanpa minat. Aku sungguh enggan mengetahui apa yang terjadi. Kembali ku pejamkan mataku.

"Heh Arka, istrimu mau dipindahkan ke kamar bersalin. Cepat dampingi. Suami macam apa kamu ini, membiarkan istri melalui ini sendirian. Cuma seneng bikinnya, tapi gak mau susahnya! Cih!" Suara tajam itu terdengar lagi di telingaku dan tangannya menyentak bahuku dengan kasar.

Aku mendesah dan menatap wanita paruh baya itu dengan sisa kesabaran yang ku punya.

"Aku tidak bisa masuk, Ma." Aku jujur padanya. Aku tak akan sanggup melihatnya.

"Dasar lelaki brengsek! Kamu sudah menyakiti anakku. Lihat saja, akan aku hancurkan simpananmu itu!" Ucapnya berapi-api sambil berlalu pergi untuk mendampingi anaknya yang merupakan istri sahku, Adinda, memasuki ruang bersalin.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang