EMPAT

166 7 0
                                    

"Ayo tinggal sedikit lagi, habiskan semua. Ntar ayamnya mati lho." Lelaki itu membujukku, saat dia menyuapiku beberapa sendok bubur terakhir yang sempat ku tolak. Oh ayolah, mana bisa aku mempercayai perkataanmu, menggelikan.

Mataku menatap lekat wajahnya. Tak ku hiraukan tatapan jengah darinya. Ada beribu tanya yang sudah aku simpan, dan siap untuk dilontarkan.

"Aku udah kenyang. Susu tadi juga udah habis semua, perutku udah mau meledak rasanya." Aku berusaha mengakhiri sesi makan kali ini. Yang tak ku sangka, dia melahap bubur sisa makanku tadi tanpa rasa jijik.

"Bubur enak kayak gini gak diabisin, sayang tau!" Ujarnya, sambil terus menyuapkan bubur ke mulutnya sendiri.

Aku terperanjat. Terkejut mendapati dia yang terlihat sangat santai menanggapi situasi apapun.

"Aku tau banyak yang mau kamu tanyakan, tapi tahan dulu, ini minum obatmu." Lelaki itu menyodorkan sebuah pil berwarna putih.

"Ini?" Aku menggantungkan kalimat. Menatapnya penuh rasa khawatir.

Masih tersisa ketidakpercayaan padanya. Entahlah, hatiku mengatakan, untuk tetap waspada. Meskipun tadi aku sedikit mempercayai ucapannya, sekedar untuk penenang jiwa. Bubur yang disuapinya tadi juga, aku menyuruhnya mencicipi dulu, sekedar membuktikan jika teoriku tidak abu-abu. Ya, mungkin aku terlalu banyak menonton film laga. Otakku banyak memikirkan kemungkinan yang terlihat tidak nyata. Kemungkinan yang bahkan tidak pernah aku duga.

Dia mendesah, menatapku tajam siap menerkam, dengan dahi berkerut dia terlihat sangat kesal dengan tingkahku. Apa mau dikata, aku harus selalu dalam mode siaga. Di tempat asing, bersama orang asing yang terlihat baik, yang bahkan kami belum saling berkenalan.

"Ini obat penurun demam. Semalam obat ini di resepkan oleh tetangga yang kebetulan dokter. Dia juga sempat memberimu pereda demam lewat injeksi. Dan ya, semalam kamu demam tinggi sesaat setelah aku melihatmu pingsan di pinggir jembatan. Aku membawamu ke sini dalam kondisi basah kuyup. Dan sesuai dengan yang kamu pikirkan, aku melepas seluruh bajumu. Aku gak mau kasurku basah kuyup. Terlebih aku gak ingin kamu lebih menggigil lagi. Wajahmu semalam lebih mirip mayat daripada manusia. Pucat pasi. Dan aku tidur di sofa depan tv, letaknya tepat di depan kamar ini. Sekedar informasi, jika kamu ingin mengetahui." Aku melongo, menatap tanpa berkedip tepat di mata lelaki itu yang saat ini sedang menyemburkan ribuan kata tanpa jeda.

Kata-kata yang membawa dampak luar biasa bagi kesehatan otak dan jiwa. Ya, kata-kata yang sangat aku rindukan dari tadi. Kata-kata yang sanggup membuatku tenang. Kata-kata yang saat ini lebih berharga dari intan dan permata.

Ku lihat wajahnya masih keras, nafasnya masih memburu. Bahunya terguncang. Dia masih berusaha mengendalikan emosinya. Entah berapa banyak emosi yang aku liat di wajahnya. Aku melihat ada tatapan mengejek, kemarahan, kekecewaan namun juga ada rasa kasihan di matanya. Hah, aku jadi membayangkan bagaimana bentukku semalam. Brengsek, ini semua gara-gara lelaki itu, lelaki yang masih ku cintai hingga detik ini dengan sepenuh hati.

"Tutup mulutmu dan jangan pandangi aku seperti itu." Ucapnya tegas.

Refleks aku menutup mulutku yang menganga. Kaget dengan suara bentakannya. Tak berselang lama, mulutku langsung terbuka begitu bisa menguasai diri.

"Makasi Bang. Makasi banget. Dan maaf udah ngerepotin Abang. Aku.. Aku.. Maaf Bang, aku hanya berusaha melindungi diri. Dan bukankah wajar aku curiga pada Abang? Aku gak tau siapa Abang, aku gak tau ada di mana dan terlebih, aku belum yakin kalau aku udah aman, mengingat aku bangun dalam keadaan, ya Abang tau sendiri kan? Wajar kalau aku mikir kayak gitu kan Bang?" Aku bersuara dengan lirih. Menundukkan kepala lebih dalam. Merutuki kebodohanku yang tidak sanggup mengangkat kepala.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang