Disinilah kami saat ini. Iya, kami. Aku, Mama, Papa dan Bang Arka. Duduk melingkar di ruang tamu, saling bertatapan penuh tanya. Mereka-reka keadaan yang sedang dihadapi. Aku menghela nafas kasar. Pikiranku melayang, jantungku berdegup kencang. Tanganku terkepal, hawa dingin menyerang. Kondisi apa yang sedang ku hadapi ini? Bahkan ini lebih mengerikan dari ujian yang baru selesai ku tempuh. Ingin rasanya aku pingsan.
Bang Arka sangat konsisten dengan ucapannya. Sore tadi, saat aku tak kunjung menghubunginya, dia dengan gigih menelepon dan mengirimiku pesan. Tidak sekali atau dua kali, dia menghubungiku seperti sedang menerorku. Membuat bulu kudukku meremang. Aku menyerah menghindarinya. Ku angkat teleponnya setelah aku menyelesaikan sesi penyelidikan dihadapan Papa dan Mama.
Ya, siang tadi sesaat setelah aku menceritakan semuanya, Mama dengan gemetar menghubungi Papa yang saat itu sedang ada pertemuan bisnis dengan kliennya. Tak berapa lama Papa pun pulang dan mencercaku dengan segudang pertanyaan. Tak sampai disitu, bahkan kakakku pun langsung ikut memberiku ceramah yang dia lakukan pada panggilan videonya.
Aku merasa menjadi tersangka dari tragedi mengerikan yang baru saja ku alami. Tragedi yang nyaris merusak masa depanku, untungnya bisa ku hindari namun tragedi itu pun membawaku pada situasi seperti malam ini. Aku di dudukkan di hadapan lelaki asing yang menjadi pahlawanku, dengan mata menyelidik dari orang tuaku yang terus disetel dalam mode siaga.
"Jadi, nak Arka, saya masih tidak mengerti dan masih tidak masuk di akal saya, penjelasan putri saya tentang kejadian semalam. Saya ingin memanggil Danen, kekasihnya, tapi saya juga ingin mengklarifikasi cerita anak saya pada anda terlebih dahulu. Bagaimana kondisi sebenarnya malam itu?" Papa membuka pembicaraan tanpa basa basi. Langsung menuju titik yang menjadi tujuannya. Suaranya tegas dan menuntut penjelasan yang lugas.
Aku sungguh tidak berani menatap wajah Papa. Baru sekali ini aku melihat wajah Papa penuh kerutan di dahi. Ya, dahinya dilipat lebih dalam. Bibirnya pun membentuk garis lurus yang kaku, tak ada senyum sedikit pun. Dan Mama, oh jangan ditanya lagi. Sejak aku menceritakan semuanya siang tadi, Mama tidak berhenti menangis. Sambil sesekali mengelus dadanya sendiri. Aku lebih tidak tega lagi melihatnya.
"Baik, Pak. Saya mengerti kekhawatiran Bapak dan Ibu terhadap Mikha, dan itu adalah sesuatu yang memang seharusnya. Pertama, izinkan saya meminta maaf dulu. Maaf karena saya tidak menghubungi keluarga Mikha malam itu. Saya sebenarnya menunggu seseorang akan menghubungi ponsel Mikha, hingga saya bisa menyampaikan situasinya. Tapi tak kunjung ada yang menghubungi. Dan paginya saya baru tau kalau ternyata Mikha seharusnya ada di vila bersama teman-temannya dan sudah mendapatkan izin dari orang tuanya. Saya juga tidak berusaha menghubungi karena saya tidak bisa membuka pola kode di ponsel Mikha. Maafkan saya Pak, Bu. Saya sungguh menyesal." Aku menatap Bang Arka yang sedang bersuara. Wah, bagaimana bisa dia sangat tenang seperti itu. Suaranya tidak bergetar. Dia tidak gugup sama sekali. Aku kagum dibuatnya. Padahal aku yang ada dihadapannya sudah berkeringat dingin dari tadi.
"Baik, saya mengerti nak Arka. Jadi tolong jelaskan keadaanya. Saya harus mencocokkan cerita anda dan Kay sebelum saya mengambil keputusan." Suara Papa kembali terdengar, masih dengan nada penuh tuntutan.
Bang Arka menggangguk tegas. Matanya tajam menatap Papa, terbentuk senyum tipis di matanya. Ah dia sungguh menakutkan dalam posisi seperti itu namun sangat menawan. Aih gila, apa yang kamu pikirkan Mikhayla? Jangan mikir sembarangan pada suami orang! Aku merutuki apa yang sempat dipikirkan otakku pada situasi seperti ini.
"Jadi begini, Pak. Malam itu saya sedang perjalanan pulang. Ditengah jalan saat saya berhenti sebentar, saya melihat Mikha di pinggir jembatan. Sejujurnya, saya sudah berpikir buruk, khawatir dia akan melakukan sesuatu yang nekat. Melihat anak berseragam SMA yang sudah dicoret-coret, dalam hujan deras di malam hari, dalam keadaan basah kuyup dan berteriak sambil menangis. Saya mendekatinya, karena tidak ada yang berani mendekat."
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomantikSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...