DUA PULUH TIGA

42 8 0
                                    

“Mikha, nyicip dong.”  Suara Bang Arka mengganggu kesenanganku menjilati es krim yang sedang ku pegang.

Ku tatap wajah Bang Arka yang sedang serius memegang kemudi, rasanya tidak rela untuk membagi kesenanganku. Aku mengacuhkannya, ku putar kepalaku dan menatap jalanan di luar.

“Mikha..” Suara Bang Arka kembali meminta perhatian.

“Apaan sih Bang? Panggil-panggil mulu dari tadi!” aku berseru setelah tidak bisa lagi menahan kesabaranku.

“Cih, pelit banget sih. Dasar bocah! Belinya juga pakai uang Abang, dimintain dikit aja gak boleh, melar tuh badan, rasain kamu!” umpat Bang Arka.

“Hmm.. Perhitungan nih? Udah lupa tadi siapa yang niat mau traktir? Abang nih ya, ibaratnya tuh suka menelan ludah sendiri, udah dilepeh eh dimakan lagi. Jorok tau Bang!” Aku memakinya.

Masa bodoh lah dengan sopan santun, aku hanya sedang menikmati sedikit kebahagiaanku bersama es krim vanila, rasa kesukaanku.

“Kamu tuh ngomong apa sih Mikha? Astaga pingin aku kuncir tuh mulut. Makin kesini makin pinter ngomong ya. Makin pinter bantah Abang.  Awas kamu ya.” Ancam Bang Arka.

Aku sudah enggan membalas ucapannya, tak ada gunanya, hanya akan menghabiskan energi saja. Keheningan kembali menyapa disepanjang perjalanan kami hingga es krim yang ku pegang telah berpindah ke perutku.

“Sudah habis?” Tanya Bang Arka.

“Hmm..” Aku hanya bergumam sebagai jawaban.

“Tolong ambil punya Abang, Mikha.” Serunya.

Aku menoleh, mencoba menegaskan pendengaranku. Entah kenapa, ketika Bang Arka berbicara, aku lebih memilih mengulanginya lagi, sekedar untuk memantapkan hati. Terkadang rasa khawatir dengan gangguan pendengaranku semakin menjadi saat aku bersama Bang Arka. Mungkin karena sifat Bang Arka yang tidak mudah diterka memaksaku untuk terus waspada. Waspada pada setiap kata dan tingkah laku yang terlontar dari Bang Arka, yang sering membuatku menganga dan tak percaya.

“Mana Mikha?” Suara Bang Arka membuyarkan pikiranku. Aku masih terdiam.

“Punya Abang mana Mikha? Tolong ambilkan.” Imbuhnya memperjelas kata-kata.

Masih dengan ragu aku mengambil es krim yang tadi telah dipilih Bang Arka. Ah mungkin memang ini yang diinginkannya mengingat tadi dia meminta punyaku.

“Ini kan Bang?” Tanyaku memastikan.

“Hmm..” Gumam Bang Arka sedingin es yang ku pegang.

Aku membuka bungkusnya dan dengan refleks ku jilat lelehan es krim yang ada di bungkusnya. Dan tak lama ku dengar suara terkekeh pelan dari sampingku. Aku menoleh dan mendapati wajah menghina yang sangat menyebalkan untuk dilukiskan.

“Kamu sangat posesif dengan milikmu tapi bahkan dengan milik orang lain kamu langsung menjilatnya tanpa izin. Apa kamu sedang mempraktikkan cara berciuman secara tak langsung?” Ujar Bang Arka lugas.

Apa yang baru tertangkap telingaku, ya? Apa benar yang baru ku dengar? Hah sepertinya aku benar-benar butuh memeriksakan telingaku. Aku bergidik ngeri membayangkannya.

“Kenapa? Kamu ingin mencobanya? Atau kamu ingin mencoba yang langsung saja?” Mulut Bang Arka terus mencerocos. Senyum setannya sudah terpasang di bibirnya.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Ternyata pendengaranku tak salah.  Aku kembali menganga mendengar kata-kata Bang Arka. Lelaki mesum!

Aku sudah tidak mampu lagi bersuara. Entah bagaimana rupaku saat ini. Mulutku terkunci, merutuki hatiku yang malah dengan semangat berdegup kencang.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang