ENAM PULUH ENAM

34 5 0
                                    

Menjelang makan siang, aku membantu Mama menyiapkan makan siang. Ini terasa sangat istimewa, karena pertama kalinya aku memasak untuk Bang Arka di rumahku. Sebenarnya bukan aku yang masak sih, aku hanya membantu memotong sayuran sambil duduk di kursi makan, hanya itu yang bisa aku lakukan, mengingat gerakku yang terbatas. Namun senyumku tak pernah lepas dari bibirku hingga Mama menyadari hal itu.

"Kayaknya tuh bibir ada mode otomatis buat senyum ya." Mama tersenyum menyindirku.

Aku menunduk menyembunyikan semburat merah di pipiku. Ah malunya.

"Jadi, sudah pernah masak apa aja untuk pujaan hatimu itu?" Tanya Mama. Aku merasakan tatapan matanya tepat di tubuhku.

"Masak yang sederhana aja Ma. Yang gak ribet. Mama tau sendiri Kay cuma bisa masak apa aja? Gak kayak Mama yang jago masak dan bikin kue." Cerocosku santai menjelaskan semuanya.

"Makanya belajar Kay. Kan Mama selalu bilang, belajar terus. Gimanapun kita ini wanita, paling gak perut suami harus terisi dengan hasil karya kita. Cinta itu bisa tumbuh dari perut lho." Mama mengeluarkan petuahnya yang sudah ku hafal di luar kepala sejak saat aku mendapatkan gelar gadis remaja.

"Iya Ma. Kay kan selalu belajar sama Mama. Cuma Kay lebih suka menikmati aja daripada membuatnya." Aku terkekeh saat mengucapkannya. Itu memang hobiku.

"Kira-kira yang kita masak ini nanti, nak Arka doyan gak ya? Mama kan gak tau makanan kesukaannya apa. Emang apa makanan kesukaan nak Arka, Kay?" Mama kembali mencercaku dengan pertanyaan.

Aku tersenyum dan menatap Mama. Berusaha memberinya pengertian jika lelaki pujaanku itu bukanlah orang yang pemilih.

"Abang suka semua makanan Ma. Pedes juga Bang Arka doyan. Abang mah pemakan segalanya. Yang penting ada sayur. Dan seafood selalu jadi favoritnya, apalagi udang." Aku melontarkan semua ucapanku dengan lancar karena memang itu yang Bang Arka sukai.

Aku mengetahui semuanya dari Bi Sumi. Beliau menceritakan segala kebiasaan Bang Arka. Termasuk berapa takaran kopi kesukaannya. Aku sudah pernah bilang, aku merasa sudah menjadi istrinya saat pagi hari ketika menyiapkan sarapan dan segala keperluannya.

Kursi makan di sampingku tiba-tiba ada penghuninya. Mama duduk disana sambil menatapku penuh arti.

"Kay." Panggil Mama pelan, namun nada suaranya mengisyaratkan sesuatu yang membuatku bergidik. Oh sial, ada apa lagi ini?

Mama menarik nafasnya dengan panjang dan penuh kehati-hatian memberiku pertanyaan yang menghujam jantungku.

"Katakan pada Mama Kay, bahwa kamu tidak bertindak jauh dengan nak Arka?" Mata Mama nanar menatapku.

Double sialan! Aku benar-benar masuk perangkap Mama. Aku tersenyum menyadari bahwa aku tak pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. Wanita hebatku ini selalu mempunyai cara unik untuk menemukan celah dalam hal apapun yang ingin ku rahasiakan.

"Mama ih, menjebak Kay lagi ya?" Rengekku.

"Kay, tolong katakan ketakutan Mama ini tidak beralasan. Kay, Mama harap, pikiran Mama ini tidak benar." Mata Mama sudah mulai berair.

Aku merengkuh tubuhnya, memberinya ketenangan untuk Mama. Bagaimana aku bisa melukaimu Ma? Senakal-nakalnya aku, meski aku kehilangan akal sekalipun, aku selalu berusaha untuk mengingat pesanmu dan aku selalu menjaga kehormatanku dengan nyawaku. Bagiku, kehormatanku adalah kehormatan Mama dan Papa juga.

"Kay masih perawan, jika itu yang bisa membuat Mama tenang. Kay tidak melampaui batas. Kami, lebih tepatnya Bang Arka, menjagaku dengan baik Ma. Dia tidak menyentuhku sama sekali." Aku sedikit membubuhkan drama dalam ucapanku, sekalian memberi nama baik untuk Bang Arka dihadapan Mama, bolehkan? Berharap nama baik itu membuat Bang Arka diterima nantinya.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang