ARKA POV
"Bagaimana penerbangan kalian tadi?" Papa membuyarkan lamunanku sambil menyesap kopi hitam di cangkirnya. Kini kami berada di sebuah kafe tak jauh dari rumah sakit.
Mataku menatap pada lelaki yang menjadi cinta pertama kekasihku ini. Aku memaksakan senyumku, aku tahu, ia sedang berbasa-basi, mungkin untuk menutupi kerisauan hatinya. Hal yang juga ku lakukan saat ini. Menenangkan diri untuk mendapatkan ketetapan hati.
"Sebenarnya, kami tertidur sejak take off sampai landing Pa." Aku menunduk sambil terkekeh mengingat sepanjang perjalanan kita memang terlelap.
Papa ikut tertawa padaku. Tawa yang terkesan dipaksakan. Aku menghela nafas dengan berat. Lelaki di hadapanku ini, sedang memikirkan banyak hal.
"Salam dari Ayah dan ibu, Pa. Sepertinya besok mereka menyusul." Aku menyampaikan pesan Ayah.
"Ah iya. Beberapa kali Papa menghubungi Ayahmu, baru sore tadi bisa tersambung. Sepertinya, beliau sibuk." Aku mengangguk membenarkan ucapan Papa.
Iya Pa, Ayah memang sibuk. Sibuk menghalau menantunya. Oh salah, mantan menantunya.
"Perusahaan aman Pa?" Tanyaku berbasa-basi lagi.
"Bisakah Papa juga menitipkan urusan perusahaan padamu?" Tanya Papa balik sambil tersenyum simpul.
Aku tergelak mendengarnya. Bisa juga lelaki ini bercanda.
"Arka tidak seterampil itu Pa. Mengurus perusahaan Ayah dan mengajar saja Arka belum mendapat hasil yang maksimal." Ujarku jujur. Memang itulah aku. Aku belum mampu memberi gebrakan yang luar biasa untuk kedua profesi yang ku geluti.
"Kamu terlalu merendah. Papa sudah mengetahui sepak terjangmu," Papa tersenyum simpul menatapku, "maaf, Papa menyelidikimu." Imbuh Papa sambil terkekeh.
Aku melongo. Seakan tak percaya dengan pendengaranku. Jadi, ada lagi orang yang membuntutiku selain Ayah? Ah sial, kenapa aku tidak bisa waspada sih!
"Papa membuntuti Arka?" Tanyaku dengan berdebar.
Papa tertawa, "Papa tidak ada waktu untuk itu, Papa hanya meminta profil lengkapmu dari kenalan Papa. Seorang rekan bisnismu yang juga sahabat Papa."
"Siapa?"
"Kamu tak perlu tahu nak, biar tidak terjadi ketimpangan saat berbisnis nanti." Papa kembali terkekeh melihat kebingunganku. Aku memutuskan untuk tak menanggapinya.
Keheningan kembali menyelimuti kami. Mungkin rasa canggung menjadi alasannya. Tapi aku yakin, keraguan dalam hati kami yang menjadi alasan terbesarnya.
"Pa," Sedikit ragu aku memanggil lelaki di hadapanku ini, "boleh Arka berbicara sesuatu? Mungkin ini sedikit menyinggung dan mengagetkan." Imbuhku kala pandangan Papa tertuju padaku.
Aku sudah menetapkan hatiku.
"Bicaralah. Apapun bisa kamu bicarakan pada Papa nak." Papa memberiku lampu hijau.
Nafasku perlahan ku hembuskan. Apa ini tak akan menjadi masalah? Aku mendadak ragu kembali.
"Ada masalah apa nak?"
"Pa, maaf sebelumnya. Tapi ini tentang Farel." Ujarku penuh kehati-hatian.
Papa menunduk dan mengambil cangkir kopinya. Disesepnya lagi cairan hitam dan pahit itu.
"Papa tau, kamu pasti juga sudah merasakannya. Sejak kedatanganmu tadi, kalian, kamu dan Farel tampak berbeda." Ucap Papa seraya meletakkan kembali cangkirnya.
"Papa sudah tau?" Melihat dari cara Papa berbicara, aku yakin lelaki ini sudah mengetahui keadaannya.
Mata Papa bertabrakan dengan pandanganku. Dengan perlahan, anggukan itu ku tangkap dengan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERITAHU MEREKA!!!
RomanceSepertinya semesta masih ingin bermain-main denganku. Setelah mengoyak hatiku, kini membuat perjalanan hidupku terseok-seok tak tentu arah. Saat aku mulai merasa lelah dengan semua ini, bayangan wajahnya terus menghantui. Bahkan ternyata dirinya p...