SERATUS

40 6 0
                                    

Aku mengerjap saat hidungku mencium bau yang sangat menyengat. Mataku menyesuaikan banyaknya cahaya yang masuk.

Hal pertama yang ku lihat adalah sosok Mama yang menangis disisi kananku.

"Mikha."

Panggilan itu memaksaku untuk menatap sang pemilik suara. Lelaki itu berada disisi kiriku, meremas tanganku dengan lembut seakan menyalurkan kekuatan padaku.

Aku menatapnya dengan sendu. Ingatanku kembali berputar pada beberapa saat yang lalu. Lelaki ini yang memberitahuku keadaan Kakakku sebelum kegelapan menyergapku. Ah iya kakakku, bagaimana dia sekarang? Aku segera berdiri untuk melihat kembali kondisi kakakku.

Entah karena apa, namun tubuhku terasa berat untuk berdiri. Seakan tulangku melunak dan tak sanggup menopang lagi berat tubuhku. Mataku beredar melihat sekeliling. Ini adalah kamar yang tadi ku datangi. Mungkin ini kamar tunggu pasien. Berarti kak Farel juga berada di ruangan ini. Atau setidaknya tak jauh dari sini.

"Abang..." Hanya panggilan lirih disertai isakan yang mampu ku ucapkan. Air mataku membuat pandanganku kembali kabur. Aku menangis, mengingat kondisi kakakku.

"Iya, ini Abang, Mikha. Istirahatlah, pulihkan tenagamu." Bang Arka mengusap lembut tanganku.

"Kak Farel..." Entah apa yang ingin ku ketahui lebih dulu, namun banyaknya pertanyaan membuat mulutku justru hanya mampu mengucapkan kata itu.

Bang Arka terdiam, tak mampu menjawab apapun. Air mataku semakin deras mengalir.

"Sayang, Kay. Bagaimana kondisimu?" Itu suara Papa, ku edarkan pandanganku mencari sosoknya.

Ketemu! Papa berada dibelakang Mama yang saat ini tengah menangis sesenggukan disisi kananku. Oh Mama, Kay sakit melihatmu menangis, tapi Kay juga sakit saat kalian menutupi semua ini.

"Sejak kapan?" Tanyaku lirih.

Mama mendongak, menatap mataku dengan luka yang sama dengan yang ku rasa. Papa yang paham pertanyaanku, langsung menjawab.

"Hari dimana kamu melepas gips, kakakmu kecelakaan tunggal. Menghindari seorang pengendara motor yang tiba-tiba berbelok tanpa memberi tanda."

Aku terisak membayangkan semua itu. Kak Farel benar-benar berhati malaikat. Sejak kecil seperti itulah dirinya, lebih memilih menyelamatkan orang lain daripada dirinya sendiri.

Ingatanku kembali menerawang pada saat masa kecil kami. Kak Farel menyelamatkan aku yang hampir jatuh tergelincir dari pohon mangga saat aku nekat memanjat pada hari hujan. Akibatnya justru Kak Farel yang terjatuh dan menyebabkan kakinya terluka. Ia harus menjalani operasi karena ligamen kakinya sobek.

Tangisku semakin pecah saat mengingat semua itu. Kakakku, yang selalu melindungiku, kini ketika dia sakit, aku tak diizinkan tahu. Padahal, ketika aku terluka tempo hari, setiap hari kak Farel menelepon ku dan setiap akhir pekan dia akan pulang menemuiku. Tapi sekarang...

"Kenapa Kay gak boleh tahu? Apa karena Kay bukan anak Mama? Apa karena tidak ada darah yang sama antara Kay dan Kak Farel? Apa karena itu Mama tak ingin Kay tau? Apa Kay bukan lagi anak Mama? Apa Kay tak berhak tau kabar Kak Farel?" Aku ingin mencerca Mama dan Papa namun entah kenapa segala kekecewaanku justru terdengar menyudutkan Mama.

Suara tangis Mama semakin keras terdengar. Tak ada suara pembelaan darinya, hanya gelengan kepalanya saja yang terus ku lihat.

"Mama udah gak sayang Kay lagi? Mama juga mau meninggalkan Kay juga? Mama menyembunyikan semuanya seakan Kay tidak berharga Ma. Mama gak lagi menganggap Kay ada kan Ma?" Ocehanku terus merembet tak tentu arah. Namun kekecewaanku rasanya enggan sirna.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang