EMPAT PULUH EMPAT

41 6 0
                                    

"Ada atau tidak ada kamu dalam hidup Abang, Abang tetap akan menceraikan Adinda. Ada hal yang mutlak tidak bisa Abang terima dari dirinya."

Ada atau tidak ada aku Bang Arka akan bercerai? Sebenarnya ada apa ini? Aku terus bertanya pada diriku.

"Bang, ceritakan yang sebenarnya Bang. Ada apa sih Bang? Kay yakin, Abang juga berhak bahagia. Apa tidak ada lagi yang ingin Abang selamatkan dalam pernikahan Abang? Jangan egois Bang, ingat anak Abang yang bentar lagi lahir." Aku terus bersuara, berusaha memberi Bang Arka semangat. Meski itu semua membuat hatiku terasa disayat.

Aku sungguh tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku hanya ingin semua kembali ke posisi masing-masing dan saling mendapatkan kebahagiaannya. Aku dan Bang Arka, kami semua berhak bahagia. Bahkan Adinda juga berhak bahagia. Aku sungguh tak mau berada di antara keduanya, aku belum siap jika harus disebut pelakor. Meski hatiku, sudah memilih untuk berada di mana.

"Anak ya? Hmm.. Aku ingat ada anak di perut istriku Mikha. Hanya saja--" Bang Arka hendak menjelaskan semuanya saat ponselku tiba-tiba berdering.

Drrtt.. Drtt.. Drtt..

Bang Arka melirikku. Dahinya langsung berkerut saat menatapku tajam. Aku mendadak gugup dilihat seperti itu.

Aku meraba tasku. Mencari ponselku di dalamnya. Berharap bukan nama itu yang tertera di layar ponselku.

Tiba-tiba saja tasku berpindah posisi. Entah karena gugup atau kurang konsentrasi, aku tidak sadar Bang Arka sudah mendekatkan badan ke arahku dan merebut tasku.

Tangan Bang Arka terulur ke dalam mencari ponselku.

"Bang, udah. Biarin aja. Gak usah diangkat dulu deh. Tadi Abang ngomong sampai mana?" Aku berusaha mengalihkan perhatian Bang Arka. Rasa gugup ku alihkan dengan banyak berbicara namun sialnya, pembicaraan yang ku lakukan sangat tidak berbobot. Kurang halus cara mainmu Kay!

Wajah Bang Arka semakin menggelap kala mengetahui gelagatku. Ah langkahmu sangat mudah terbaca, Mikhayla!

Ponselku sudah di tangan Bang Arka dan kepala Bang Arka mengangguk-angguk diiringin senyum masam di bibirnya.

KAK DISMA TAMPAN

Nama yang tertera di layar ponselku. Seketika jantungku berdegup kencang. Entah apa yang akan dilakukan Bang Arka setelah ini.

"Jadi ini yang coba kamu sembunyikan dari tadi? Bahkan nama kontaknya pun sudah terlihat berbeda ya, Mikha?" Sindiran Bang Arka hari ini sangat melimpah kadar pedasnya.

"Bang, bisa aku jelasin semuanya. Itu Kak Al yang ngisi sendiri. Dia yang nulis sendiri namanya Bang. Sumpah deh! Kalau Kay bohong, Kay mau deh jadi tambah cantik." Ujarku sedikit berkelakar.

"Dia bahkan mengambil dan membuka ponselmu sendiri, Mikha?" Suara sinis Bang Arka kembali menghantamku. Yah, salah lagi deh aku!

"Bukan, Bang.." Aku ingin melanjutkan, namun tiba-tiba aku memikirkan hal yang sangat mendasar.

Kenapa aku sangat takut Bang Arka akan terluka? Kenapa aku harus menjelaskan semuanya pada Bang Arka? Kenapa aku berusaha menutupi semuanya? Dan kenapa Bang Arka bersikap seperti itu? Ini salah! Sangat salah! Hubungan kami pun sudah salah! Otakku terus memutar kalimat itu dan hatiku terus membantahnya. Hah, lelahnya.

"Kenapa berhenti Mikha?" Bang Arka memperhatikan kegalauan hatiku. Aku menatap Bang Arka.

"Aku tidak bisa menjanjikan kamu apapun Mikha, setidaknya sampai dua bulan ke depan. Tapi, bolehkah aku bersikap egois? Bisakah aku memintamu bersikap berani? Ku mohon Mikha, beranilah. Terjanglah segala batas ini, raihlah tanganku. Aku tidak akan membuatmu menangis lagi, meski aku tidak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi aku akan selalu ada di sisimu. Tidak akan aku biarkan kamu menunduk karena malu. Aku pastikan, kamu akan tegak berdiri melawan angkuhnya dunia. Tapi ku mohon, tetaplah di sisiku. Bersamaku. Meski aku tahu, ini salah." Bang Arka menangis saat mengatakannya. Ternyata sakit di hatinya sudah sangat dalam.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang