89. Percaya pada papa

707 117 6
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 11.45 sedangkan si pemilik kamar belum juga tidur. Matanya berusaha untuk terpejam dan pergi ke alam mimpi, namun sepertinya kepalanya tidak mendukung keinginan mata. Otaknya seakan terus membuatnya ketakutan setiap malamnya sampai-sampai dirinya terus terjaga setiap malamnya.
Jaemin, dia hanya duduk meringkuk di atas kasur. Raut wajah ketakutan terlihat jelas, ditambah dinginnya malam membuatnya semakin gelisah. Seharusnya ia menjaga kesehatannya karena akan ujian, tapi sepertinya tidak ada yang mendukung niatnya itu. Ia selalu dihadapkan dengan mimpi-mimpi yang selalu saja membuat dirinya berteriak tak karuan setiap malam.

Ingin rasanya meminta Jeno menemaninya tidur. Tapi egonya lebih besar, dia tidak ingin membuat Jeno terganggu tidurnya karena pria itu lebih butuh istirahat.
Jaemin meremat selimutnya gelisah, ia bersumpah ingin tidur tapi tidak bisa. Matanya melirik ke segala arah, kepalanya terasa pusing memikirkan semuanya. Jaemin beranjak dari kasur, ia sudah tidak kuat. Kakinya melangkah menuju kamar Jeno, sedikit terseok karena pusing yang menyerang kepalanya. Iya, anak satu-satunya Lee Jeno ini kurang tidur akhir-akhir ini.

Ditatapnya sebentar punggung Jeno sebelum menggoyangkan lengan Jeno. Matanya keburu berair begitu tiba-tiba ingat bagaimana mimpinya menggambarkan jika Jeno pergi.
"Hm? Kenapa?"

"G-gak bisa tidur.."Jeno yang mendengar nada bicara Jaemin buru-buru bangun. Samar-samar bisa ia lihat pipi Jaemin yang basah, direngkuhnya anak itu sembari menepuk-nepuk punggungnya. "Mimpi buruk?"

Runtuh sudah pertahanan Jaemin, anak itu menangis sekarang. Jeno menuntunnya untuk ke kamar Jaemin, takut mengganggu tidur Xiyeon. Jaemin masih menangis sembari tetap Jeno peluk, anak itu meremat lengan baju panjang Jeno begitu erat. "Kenapa? Mimpi buruk ya? Harusnya tadi malem minta papa tidur disini aja"

"Aku gak mau nyusahin papa"

Jeno menggeleng, menangkup pipi Jaemin lalu mengangkat wajah anaknya agar menatapnya. "Sama sekali gak. Emang gak wajar kalau anak papa minta sesuatu sama papa? Kamu mau apapun minta sama papa. Biar papa aja yang berusaha wujud-in kemauan kamu"

"Aku cuma mau papa gak pergi.."Jaemin memberanikan dirinya, ia sudah lelah menghadapi masalahnya. Hanya Jeno lah satu-satunya yang benar-benar bisa ia andalkan dalam hal seperti sekarang.
"Papa kan disini, papa gak kemana-mana"

"Nana takut papa pergi...kayak di mimpi Nana"
Jeno menggeleng, kembali memeluk Jaemin begitu anak itu menangis lagi. "Tidak akan pernah. Papa kan udah janji gak akan kemana-mana. Coba papa tanya, ada mimpi yang pernah jadi kenyataan gak selama ini?"

"Ada..tapi gak sering"

"Mimpinya bahagia atau malah bikin Nana nangis?"

"Bahagia.."

"Coba ceritain apa aja mimpinya"Jeno menyuruh Jaemin untuk berbaring, mencoba membuat anaknya tidur dengan cara mengajaknya mengobrol. "Waktu papa beliin Nana es krim pas ke rumah paman Mark. Waktu papa beliin Nana robot. Waktu papa ajak Nana jalan-jalan"

"Bahagia semua kan? Jadi...kalau yang bikin Nana nangis gak usah diinget. Kalau Nana ngerasa kayak itu nyata banget itu kamu nya lagi cape jadi ngerasa kamu bener-bener di mimpi itu. Kalau yang kayak gitu gak perlu kamu inget, papa pernah cerita tentang mimpi yang bikin papa gak bisa tidur kan?
Nah, papa coba buat lupain itu. Karena papa percaya itu gak akan terjadi, buktinya gak terjadi kan?"

"T-tapi gimana-"

"Na... kamu percaya sama papa gak?"
Jaemin diam sebentar lalu mengangguk, masih mendengarkan Jeno yang berbicara sambil mengusapi kepalanya. "Gak usah inget lagi itu. Kamu tau sendiri papa gak bisa jauh-jauh dari kamu. Papa disini kan? Papa gak kemana-mana. Papa juga paling kalau pergi urusan kantor? Gak akan mungkin papa pergi lama banget terus gak ajak kamu. Inget gak pas papa telpon kamu terus tiap hari waktu papa lagi diluar kota empat hari? Itu tandanya papa gak bisa jauh-jauh dari kamu kan?"

"Udah.. sekarang tidur. Udah tengah malem. Kamu nyuruh papa jaga kesehatan biar gak sakit tapi kamu sendiri enggak."
Jeno menatap Jaemin yang masih terlihat gelisah, bibirnya mengukir senyum. "Papa tidur disini. Gak usah dipikirin lagi"

Jeno sengaja menjadikan tangannya menjadi bantal anaknya. Setidaknya Jaemin bisa merasakan dirinya masih ada di kamar.
Matanya yang sembab perlahan menutup karena kantuknya yang sudah ia tahan sejak tadi. Bibir yang semula hanya menggumamkan kata-kata yang membuatnya takut kini hanya ada dengkuran. Jeno juga masih menepuk-nepuk punggung Jaemin. Jika mengingat Jaemin yang sudah kelas satu SMP terkadang membuatnya terkekeh kecil. Pantas Haechan sering mengolok-olok Jaemin dengan sebutan 'bayi'.

Tapi adiknya dulu juga begitu. Bahkan jika diingat-ingat adiknya lebih menempel lagi padanya. Ditatapnya wajah Jaemin yang terlihat tenang sekarang, tidak seperti tadi.
Xiyeon menceritakan bagaimana Jaemin menangis tengah malam kala itu dan membuatnya jadi khawatir. Apalagi anak itu tidak memperlihatkan gelagat yang menunjukkan dirinya menyimpan masalah, ceria seperti biasa. Jeno sedikit takut akan hal itu, ia takut Jaemin jadi orang yang tertutup padanya. Tapi ternyata tidak, Jaemin baru saja meluapkan segalanya yang ada didalam dirinya.

Ia pernah melihat Jaemin melamun bahkan sampai tidak mendengarkan panggilannya beberapa kali. Setelahnya Jaemin baru menceritakan semuanya pada Jeno.
Bagi Jaemin, Jeno adalah rumah tempat ia bersandar jika benar-benar lelah, tempat ia menceritakan semua masalahnya. Xiyeon juga begitu, namun Jaemin cukup takut jika ia membuat mamanya harus membantunya disaat ia juga harus membantu pasien-pasiennya. Takut jadi menambah beban mamanya.

Makanya Xiyeon selalu dijadikan perantara jika Jaemin tidak bisa cerita pada Jeno. Jika Jeno punya rahasia berdua dengan Jaemin maka Xiyeon juga punya rahasia berdua dengan Jaemin tapi berbeda.
Jika Jeno lebih sering menyembunyikan hal kecil yang bisa menyulut omelan Xiyeon, maka wanita itu menyembunyikan hal-hal yang berusaha ia tutupi dari Jeno.
Bukannya mengajari Jaemin berbohong, tapi tidak semuanya Jaemin bisa ceritakan secara gamblang pada Jeno, tentu ada beberapa hal yang disembunyikannya. Itu juga karena kepentingan Jeno. Pria dengan tipikal sering kepikiran hanya untuk suatu hal itu lebih Jaemin hindari jika berbicara yang menyangkut tentang diri papanya sendiri.

Itu juga saran Xiyeon, apapun yang berbau Jeno usahakan cerita dulu pada Xiyeon jika tidak ingin melihat Jeno jatuh sakit hanya karena masalah kecil yang membuatnya seakan menghadapi masalah besar.
Seperti saat mimpi yang berhubungan dengan Jeno, mimpi itu sama persis dengan yang pernah Jeno ceritakan.
Jika Jaemin menceritakan langsung pada Jeno, ada kemungkinan Jeno jadi akan memikirkan tentang adiknya lagi.

Jeno sudah tertidur sembari memeluk Jaemin, sebenarnya ia kurang tau masalah yang berkaitan dengan mimpi seperti ini. Jaemin jarang cerita tentang mimpi-mimpinya padanya.
Memang rumit sebenarnya, tapi jika tidak dilakukan mungkin Jeno harus sakit terus karena stres dan Xiyeon jadi tidak bisa membantu Jaemin karena ikut kepikiran melihat Jeno. Benar?

[]

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang