167. Sulit

733 111 48
                                    



"Anaknya papa.. sudah besar ya?"

-------

Nafasnya, sudah tidak bisa ia kontrol lagi begitu pun detak jantungnya. Semakin erat memegang stang sepedanya, keringat dingin mulai bercucuran dengan tatapan yang tak lepas ke arah depan.
Langit tiba-tiba mendung, menghalangi sinar matahari yang sejak tadi menemani Jaemin berjalan pulang.

Siapapun, tolong bilang ini khayalan nya dan bangunkan ia dari tidurnya, sekarang juga.

Kakinya reflek melangkah mundur, tubuhnya hampir oleng karena kedua kakinya tiba-tiba saja lemas. Jaemin dibuat semakin takut saat sosok dihadapannya melempar senyum. matanya perlahan berair. Sepeda yang ia pegang erat sejak tadi dia biarkan terjatuh begitu obat milik ibunya.

Lari, lari, lari
Otaknya mengirimkan tanda agar ia berlari sekencang-kencangnya. Kakinya yang harusnya sudah melangkah sejak tadi malah tidak bisa digerakkan, berat sekali.
"P-papa..."

Diam bodoh! Jangan percaya pada orang itu!

Dia masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Pikirannya yang mengatakan ia harus lari, kabur dari orang yang tiba-tiba ada dihadapannya itu.
Sementara hatinya seolah mengambil alih kakinya agar tak bergerak sedikitpun.
"Maaf... Maaf..."

Kepalanya menggeleng ribut. Ingin sekali dia menelpon Xiyeon untuk menolongnya atau Chenle untuk segera membawanya kabur. Tangannya seakan mati rasa untuk mengambil ponsel yang ada di saku jaketnya. Bahkan ia biarkan orang yang tadi ada dihadapannya kini mendekat, mendekap tubuhnya erat sekali. "Maaf..."

Apa lagi ini? Apa Tuhan kembali mempermainkan hidupnya lagi? Apa Dia tidak mengizinkannya untuk istirahat sedikit saja?
Ini mimpi, Jaemin yakin itu. Dia sebenarnya sedang tertidur, menumpuk ini semua,
Memimpikan sosok di hadapannya ini,
Memimpikan Jeno yang tiba-tiba muncul didepannya. "Maaf karena baru menemuimu"

Bangun Na Jaemin, bangun! Jangan buat dirimu berharap lagi

Tidak, ini terlalu nyata. Terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi. Tidak mungkin jika..
Papa nya benar-benar kembali hari ini, detik ini dan sekarang tengah memeluknya. "Maaf karena harus membiarkan mu melewati hari-hari buruk sendiri"

"Maaf... Karena harus membuat anak papa ini menangis setiap malam nya"

Seseorang, siapapun itu, tolong Na Jaemin.

Jaemin tertawa kecil, menertawakan dirinya yang masih betah tertidur ini padahal sudah berusaha untuk bangun. Dirinya tersentak saat pria yang memeluknya ini menangis hebat, ini sudah kelewatan, ini sudah terlalu nyata, sudah dipastikan ini bukan mimpi.
Tapi maksudnya apa seperti ini? Dijalan pulang menuju rumah dan harus bertemu dengan orang ini sekarang? Kenapa bukan sejak empat tahun yang lalu? Kenapa baru hari ini?
"Kau... Berhentilah berpura-pura menjadi ayahku"

"Jangan mengaku-ngaku sebagai ayahku"
Pelukannya tak lepas, ia masih menangis dibahu Jaemin.
"Kenapa.... Kenapa harus berpura-pura menjadi ayahku? Kalau kau memang melakukan ini.. seharusnya kau muncul dihadapan sejak dulu, kenapa.. baru sekarang?"

"Berhenti menyamainya, dia bahkan tidak bisa kau tiru"

Tapi,
Dia tau persis seperti apa pelukan hangat milik Jeno. Orang bisa meniru wajahnya, namanya bahkan penampilannya. Tapi tidak mungkin dengan pelukan yang tidak pernah diberikan pada sembarang orang bukan?
"Maaf... Papa benar-benar minta maaf.."

Jaemin kalah. Pertahanannya roboh begitu saja. Isakannya semakin jelas, kalah dengan ego nya yang menolak percaya. Tangannya mengepal, dia benci orang dihadapannya ini, Jaemin sangat membencinya, sungguh.

Dia benar-benar membencinya, sangat membencinya sampai ia muak melihat wajahnya.

"Kenapa... Kenapa baru muncul sekarang..."

Pria dengan sweater berwarna hitam itu masih menangis, memeluk Jaemin. Tangannya mengusap rambut Jaemin tanpa seizin pemiliknya. Sungguh, ia rindu pada anak dipelukannya ini. Jujur, ia juga benci dirinya, sangat, kenapa dia baru menginjakkan kaki nya disini lagi sekarang bukan sejak dulu, membiarkan anaknya melewati hari-hari buruknya tanpa ada yang menghiburnya.
"Aku membencimu.. sangat.. aku tidak mau melihatmu.. aku ingin memukulmu.. aku ingin kau pergi..."

Ucapannya,
Semuanya bohong, semuanya.

Tangannya tak segan memukul pria yang masih memeluknya, memukulnya sembari menangis. "AKU MEMBENCIMU!!"

Jaemin bahkan jatuh terduduk membuat pria itu melepaskan pelukannya dan berjongkok. Mencoba membuat Jaemin kembali berdiri. "Maaf.. papa bisa pergi kalau kamu benci hal ini"

"Kau bodoh. Sangat, sangat bodoh"
Jaemin memukul dadanya kuat, dirinya masih sulit percaya walau ini benar-benar nyata. "Aku membencimu.. aku tidak pernah mau melihatmu.."

Jaemin menatap sayu pria yang masih setia berjongkok, tenaganya habis setelah meraung-raung memaki pria itu. "Aku.. membencimu.."

Tidak, kau merindukannya Na Jaemin, kau sangat merindukannya.

"Aku tidak mau kau pulang"

Kau sangat ingin dia pulang, ingin dia kembali ke rumah nya lagi.

Tubuhnya yang sudah lemas langsung ambruk. Dia pasti bangun,
Bangun dari mimpinya ini.
Ya, ini hanya mimpi.
Hanya.

***

"Hm?"Somi menatap pintu begitu bel berbunyi. Kalau Jaemin tidak mungkin, masa anak pemilik rumah ini harus seperti tamu begitu.
"Ya? Siapa-"

Somi kehabisan kata-kata, apalagi melihat Jaemin yang memejamkan mata berada di punggung orang asing itu. Bahkan dia berteriak keras saking terkejutnya. Tanpa bicara dia membawa Jaemin ke kamarnya, sebenarnya anaknya sudah lebih berat dari terakhir ia menggendongnya, tentu saja, anaknya ini sudah berumur 18 tahun tidak mungkin masih seringan bayi.
Bahu tegapnya ditatap oleh seseorang yang berada di ambang pintu dengan nafas tersengal-sengal. "Siapa kau? Anakku kenapa?"

"Xiyeon"

Suaranya berhasil membuat tubuh Xiyeon bergetar, tidak percaya dengan yang ia dengar.
Tubuhnya berbalik, menatap wanita yang masih tak berkata apapun di ambang pintu. Bibirnya mengukir senyum tipis dengan matanya yang terlihat memerah. Pipinya yang lebih tirus, tubuhnya yang terlihat tetap tegap. Rambutnya yang semula menutupi dahinya kini memamerkan dahinya, memperlihatkan sebuah jahitan di dahinya yang tidak terlalu terlihat namun siapapun tau itu bekas jahitan. "Maaf, membuat mu ketakutan hari itu"

Xiyeon tidak percaya. Kepalanya menggeleng cepat sembari melangkah mundur.
Dia yang melihatnya sendiri, melihat jasadnya, melihat makamnya, melihat fotonya yang dikelilingi bunga-bunga. Dia yang melihat orang-orang mengucapkan belasungkawa, yang berusaha menyemangatinya. Dia yang melihat makamnya dipenuhi bunga, selalu pergi kesana untuk sekedar berbincang kecil, kantornya yang diambil alih dulu sampai nanti ada yang bisa menggantikan posisi pemilik perusahaan disana.
Dia sendiri, yang melihatnya terbaring lemah dengan tubuh dipenuhi dengan darah dan berakhir dengan monitor yang berbunyi nyaring dengan garis lurus, tak lagi beraturan.

Lee Jeno nya, benar-benar kembali ke rumah ini.

[]

Oh god ... I'm crying now

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang