131. Marahnya Xiyeon

574 95 16
                                    

"Jaemin dirumahku, dia baik-baik saja. Bibi tidak perlu khawatir"
Felix melirik Jaemin yang tertidur sembari berbicara dengan Xiyeon lewat ponsel Jaemin.
Temannya tertidur larut sekali jadi tidak tega membangunkannya sepagi ini.
Felix kembali menaruh ponsel Jaemin diatas meja, pergi sebentar untuk membeli sarapan. Matanya menatap keluarga yang tengah sarapan, kembali mengingatkannya pada Jaemin. Dunia terlalu jahat atau bagaimana sampai membuat Jaemin seperti ini, berbeda saat awal bertemu. Senyumnya bukan senyum khas Jaemin yang sering ia pamerkan, itu hanya sebatas senyum untuk menutupi sisi sebenarnya.

"Terimakasih"
Felix keluar dari restoran setelah membeli sarapan. Berjalan santai menuju rumahnya yang tidak bisa dibilang besar, rumah hasil dari upah pekerjaannya. Nasib baik ia juga memiliki tabungan jadi bisa membayar harga rumah itu.
Jaemin masih tertidur, tadi malam sempat gelisah entah karena mimpinya atau karena setelah menangis. Felix jadi ikut mengantuk melihat Jaemin, ia duduk di kursi yang kosong dan mencoba untuk memejamkan sebelum,

"LEE FELIX!! BUKA PINTUNYA BODOH! AKU TIDAK BISA MASUK!!"

***

"Jung Xiyeon yang akan mewakilkan rumah sakit ini"
Soo Yeon, Mark juga Xiyeon terkejut mendengarnya. Demi Tuhan Xiyeon benar-benar tidak menyukai ide pemimpinnya ini, sungguh.
"Aku keberatan. Anda tau sendiri bagaimana kondisi saya sekarang setelah suami saya meninggal dan anda bisa-bisanya menyuruh saya pergi kesana? Anda ingin saya meninggalkan anak saya?"

Soo Yeon menarik Xiyeon agar kembali duduk, aura wanita itu sungguh berbeda sekarang. "Itu keinginannya, dia ingin kamu yang mewakili rumah sakit ini untuk menghadiri rapat. Bagaimana nasib rumah sakit ini jika kamu tidak mau? Kamu mau melihat rumah sakit ini jadi di cap jelek?"

"Maaf tapi masih ada saya, masih ada Soo Yeon, bahkan Jaehyun yang notabenenya dokter baru dirumah sakit ini bisa anda andalkan. Tidak bisakah anda membicarakannya baik-baik dengannya agar diganti saja? Kondisi Xiyeon tidak memungkinkan untuk menemuinya"

"Jaehyun masih baru disini. Xiyeon bahkan lebih handal menanganinya. Hanya pergi dan rapat, itu saja. Apa susahnya?"
Xiyeon hampir menggebrak meja jika saja Soo Yeon tidak langsung menahannya, kali ini ia benci pada pimpinannya. "Dengan hormat saya tidak bisa melakukannya. Anda tidak memikirkan kondisi saya sekarang, anda tau sendiri bagaimana anak saya setelah kejadian itu dan masih memaksa saya untuk pergi?!"

"Tidak ada penolakan Jung Xiyeon. Lusa, aku akan mengirimkan mobil untuk mengantarkan mu kesana. Rapat selesai"
Xiyeon memandang pimpinannya terkejut, rasanya ia ingin menendang wajah pria itu sampai tersungkur.
"Argh!!'

Mark terkejut begitu Xiyeon melemparkan gelas pada pintu hingga pecah. Wajahnya memerah menahan amarah sekarang. "Kita bicarakan baik-baik dengan-"

"Mau bagaimanapun aku bicara, siapapun yang bicara tentang ini padanya, aku bertaruh Na Jaemin tidak akan setuju. Dia tidak akan pernah setuju dengan ide pria tua itu!"
Soo Yeon juga bingung, tidak tau harus berbuat apa dengan keputusan pimpinan itu. Xiyeon hampir menendang kursi yang tadi diduduki pimpinan, sudah marah besar sekarang.,

"Kita coba dulu, Xiyeon.."

"Dan kau mau melihat Jaemin collapse seperti waktu itu? Melemparkan barang-barang sembari menangis? Idemu sama saja membunuhku"
Xiyeon mendudukkan dirinya di kursi, mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana ia menjelaskannya disaat hubungan dengan Jaemin tengah seperti ini, dia tidak tau Jaemin sudah pulang atau belum.
"Sialan..pimpinan brengsek"

"Woah... Calm down.. kau seram jika sudah marah"

***

"Demamnya tinggi le. Aku gak yakin bisa kasih tau ke mamanya, takut malah jadi khawatir terus gak fokus sama kerjaannya"

"Lix, mamanya berhak tau. Jaemin itu anaknya jika kau lupa. Bibi Xiyeon mungkin bisa memberikan obat yang tepat"

"Dan aku juga gak yakin kalau Jaemin bakal mau"
Felix menatap Jaemin yang masih tertidur, tadi sempat mengigau begitu Chenle berangkat sekolah. Dia sendiri juga kaget saat memegang dahi Jaemin tadi.
"Kasih tau aja, siapa tau nanti bibi punya cara sendiri"

"Oke"
Chenle kembali menaruh ponselnya begitu Felix mengakhiri telpon. Sepi juga tidak ada Jaemin, anak itu biasanya sering mencoba membuatnya marah. Felix juga tidak masuk sekolah dan itu atas permintaan Chenle karena takut jika Jaemin kenapa-kenapa.
Anak yang satu itu cukup nekat soalnya.

Satu hal yang ia tahu sekarang, beberapa teman Jaemin bahkan tengah membicarakan anak itu sekarang. Beda depan beda belakang, Chenle muak dengan orang-orang seperti itu. Rasanya ingin sekali memukuli mereka agar jera,
Jika ingin melihat Jaemin marah lagi.
"Kenapa.. anak itu.. tidak pernah berani untuk melawan?!"kesalnya sendiri

Na Jaemin yang sekarang bukan dirinya yang dulu,
Bukan yang melawan saat orang lain mencibirnya.
Bukan yang membuktikan pada semua orang jika ia bisa.
Bukan lagi yang selalu membuktikan ucapan orang lain tentangnya itu salah.
Chenle mengeluarkan ponselnya dari dalam saku begitu seseorang menelponnya, dahinya mengernyit heran menatap nomor Felix.
"Kenapa?"

"Le! Jaemin gak bangun-bangun!!"

***

Kelopak matanya ia buka dengan paksa, menyesuaikan cahaya yang berlomba-lomba masuk ke dalam retinanya. Dahinya mengernyit kala melihat sekelilingnya bukanlah suasana rumah Felix, ruangan yang didominasi warna putih ini lah yang menyambutnya saat bangun.
Kepalanya menoleh, tertegun melihat Xiyeon yang tertidur sembari menggenggam tangannya, wanita yang kemarin baru ia salahkan atas kepergian Jeno.
Raut wajahnya terlihat kelelahan namun seolah tetap kuat didepannya, selalu berusaha tersenyum walaupun ia pernah membentaknya. Selalu mengusap kepalanya walaupun pernah mendorongnya, menyeramkan.

Tenggorokannya sakit, niatnya membangunkan Xiyeon ia urungkan. Matanya tiba-tiba memanas, bingung dengan keadaannya sendiri yang sekarang. Jaemin yang tidak pernah bersikap kasar pada Xiyeon karena Jeno yang akan menghukumnya kini berubah menjadi Jaemin yang tak segan menyakiti orang lain ketika kalut.
Jaemin yang tidak pernah berkata kasar kini jadi anak yang keras kepala, sesekali ia mengumpat jika kesabarannya mulai menipis. Jaemin yang tidak pernah bertengkar dengan siapapun bahkan berani untuk memukul orang lain sekarang.

"Kamu sudah bangun? Kepalamu sakit tidak?"
Xiyeon mengikat rambutnya asal dan mengambil gelas. Anaknya pasti haus setelah tertidur dan baru bangun jam dua siang. Tadi cukup panik karena demamnya tinggi sekali, untungnya sudah perlahan turun sekarang.
"Sudah makan belum? Mau mama suapi?"

Jaemin diam, mendengarnya saja sudah membuatnya sakit.
Wanita yang ia salahkan kemarin dan meninggalkannya sendiri dirumah bahkan masih merawatnya dengan baik. "Eh? Kenapa menangis?"

Xiyeon tersenyum samar, mengusap sudut mata Jaemin. "Mama suapi ya? Tiga suap saja. Kamu belum makan apapun, oke?"

Xiyeon membantu Jaemin untuk duduk, membiarkan anaknya bersandar sembari ia suapi, takut maag nya kambuh lagi. "Felix yang bawa kamu kesini. Kamu tau gak? Dia panik banget manggilin mama, sampe teriak-teriak loh"

"Malu aku punya temen kayak dia"

Xiyeon tertawa begitu mendengar ucapan Jaemin dengan suara serak, kembali menyuapi nya sedikit demi sedikit. "Felix juga bilang kalau Chenle hampir mau bolos karena khawatir sama kamu. Emangnya bolos rame ya? Kalau bisa tadi rapat mama mau bolos juga"

"Kenapa bolos rapat?"

Xiyeon diam, menarik nafasnya dalam-dalam mengumpulkan keberanian.
"Mama disuruh ikut rapat di Seoul.. tapi.. mama gak berani. Mama gak berani tinggalin kamu"

[]

Udah pernah nyobain nulis dua buku dengan genre yang jauh berbeda belum?
Kalau belum.. rasanya.. dahlah.
Tiba-tiba mode buku baru, terus tiba-tiba mode Call Him Nana.
:')

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang