108. Nana benci semuanya

821 117 18
                                    

Jaemin masih dirumah sakit, anak itu kembali tidak bicara setelah kejadian ia menangis di taman, pingsan dalam guyuran hujan. Tidak ada yang berhasil mengajaknya bicara, anak itu hanya mengangguk jika ia setuju dengan sesuatu.
Jisung menyodorkan kripik pada Jaemin, anak itu hanya diam menatapnya tanpa berniat mengambilnya ataupun menggeleng tidak mau.
"Tidak mau ya? Maaf.."

Jaemin merebahkan tubuhnya yang terasa pegal. Sebenarnya ia ingin tidur, matanya terasa berat sekali. Tapi percuma, tidurnya tidak akan nyenyak lagi seperti biasanya. Xiyeon harus mengurus sesuatu tadi pagi, dia pergi sebelum Jaemin bangun. Jadi yang menemaninya hanya Jisung dan Renjun.
"Kamu bosan ya? Mau jalan-jalan?"

Jaemin mengangguk samar. Renjun menyuruhnya untuk duduk di kursi roda saja, ia tidak yakin anak itu akan kuat berjalan dalam keadaan lemas seperti itu. Renjun berkali-kali mengusap kepala Jaemin sembari mendorong kursi rodanya menuju taman. "Nah..kita disini saja"

Jaemin masih diam, menatap beberapa anak kecil yang masih bisa bersenang-senang.
"Kakak, kakak sakit apa?"tanya si gadis menatap Jaemin. Rambutnya diikat dua, pipinya sedikit memerah.

"Kakak kok sedih..kata mama aku gk boleh nangis. Kakak juga gak boleh. Kaki kakak sakit ya jadi harus duduk disini?"
Jaemin tersenyum, tersenyum untuk pertama kalinya sejak tragedi tragis itu terjadi. Kepalanya mengangguk pelan, "kaki kakak pasti gak sakit lagi nanti. Kakak ganteng kalau senyum"

"Kamu cantik kalau senyum"anak itu tertawa girang. Tiba-tiba merentangkan kedua tangannya. "Mau peluk kakak boleh?"

Jaemin mengangguk, memeluk tubuh mungil gadis itu. Hangat, Jaemin suka. "Kakak gak boleh sedih lagi.. senyum aja, soalnya kakak ganteng, kalau cemberut gak ganteng lagi. Lia pergi dulu ya? Dipanggil mama"

"Lia"

"Ya?"

"Terimakasih"lirih Jaemin. Anak itu mengangguk lalu berlari menghampiri sang mama. Membiarkan Jaemin kembali sendirian. "Jaemin?"

Yang dipanggil menoleh, terkejut siapa yang memangilnya. "Kenapa kamu bisa disini?"

***

Renjun sudah luntang-lantung mencari Jaemin. Taunya anak itu sudah kembali ke kamar dan katanya bersama seseorang yang asing.
"K-kak Sungchan...kenapa disini?"

"Ah.. pertandingan bisbol kemarin, aku tiba-tiba pingsan. Makanya ada disini. Kamu kenapa bisa disini, kamu sakit apa?"
Jaemin menggeleng, tangannya meremat selimut putih dipangkuannya. "Gak apa-apa kalau gak mau cerita. Oh ya, bola yang aku kasih masih ada kan?"

"M-masih.."

"Nanti kita main bisbol bareng oke? Kamu harus cepet sembuh dulu biar bisa ngalahin aku"Jaemin tersenyum tipis, menatap pintu ruangan yang tertutup rapat. "Nungguin siapa?"

"Papa..aku masih nungguin papa"

"Papa kamu kemana memang nya? Oh ya papa kamu sehat kan?"Jaemin mengalihkan pandangannya, menahan tangisannya sejak tadi. "Kak..aku mau tidur dulu"

"Oh iya gak papa, kamu harus banyak istirahat"Sungchan membantu Jaemin untuk berbaring, menyelimuti tubuh anak itu. "Kakak pamit ya? Cepat sembuh Na Jaemin"

Jaemin mengangguk, menatap Sungchan sampai keluar ruangan. "Papa..papa gak akan dateng? Nana sakit pa..dada Nana yang sakit.."

Iya, Jaemin kemarin-kemarin terlalu banyak menangis sampai ia hampir kekurangan oksigen dan akhirnya harus dibantu oleh alat medis. Beruntung Jaemin sudah mulai bisa bernafas dengan normal lagi.
"Nana mau dipeluk papa, pasti sembuh"

***

Na Jaemin, anak itu kabur lagi entah kemana.
Yang pasti dia tidak berada dirumah sakit, Mark dan Jong-hoon sudah keliling untuk mencarinya. Nihil, anak itu tidak ada di manapun. Kemungkinannya Jaemin kabur keluar rumah sakit tapi tidak tau kemana. Saat Mark ke kamar Jaemin ruangannya sudah kosong begitu saja, hanya ada boneka Doraemon yang ditinggal seorang diri.

Kakinya melangkah menyusuri jalan, tak peduli dengan tatapan yang dilayangkan padanya. Jaemin terlalu lelah untuk berlari. Jaemin juga tidak tau dirinya mau kemana, kakinya seakan bergerak sendiri.
Entah sudah berapa jauh ia berjalan, Jaemin lelah. Beberapa kali anak itu hampir tumbang jika Jaemin tidak segera menegakkan kembali tubuhnya.
Kakinya yang hanya memakai sendal itu masih terus berjalan seakan tidak pernah ingin berhenti, mengajak Jaemin terus berjalan-jalan padahal matahari sudah semakin tinggi dan Jaemin belum makan. Jaemin sebenarnya ada uang, cukup untuk naik bus ke rumah.

Sayangnya, ketakutannya lebih besar. Kendaraan roda empat lah yang membuat papanya tidak kunjung pulang. Bahkan sekedar untuk melihat mobil-mobil yang lewat Jaemin tidak berani. Jaemin jadi takut pada jalanan. Padahal awalnya anak itu suka dengan keramaian di jalanan, tapi tidak lagi. Bagaimana bisa jalanan yang ramai berubah menjadi sepi disaat papanya butuh bantuan, apa sekejam itu mereka membiarkan papanya meregang nyawa.
Jaemin benci semuanya, orang lain, dunia, dan jika saja ia bisa membenci Tuhannya Jaemin pasti akan melakukannya.

Ucapan papanya masih terus terngiang setiap Jaemin ingin menyalahkan Tuhan. Jeno pernah berucap hari itu, "Jaemin, apapun yang terjadi, jangan pernah menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak salah, dia hanya sudah menulis takdir kita terlalu cepat. Hanya saja kadang kita yang egois dan malah menyalahkannya Tuhan. Percayalah, Tuhan punya yang lebih indah dari ini untukmu"

Jeno berkata seperti itu saat Jaemin mendapat nilai kecil. Anak itu tertawa kecil, "indah? Ah... kehilangan seseorang termasuk hal indah ya? Akan ku catat itu baik-baik"

Jaemin terdiam begitu dirinya tiba-tiba sampai dirumahnya, setelah berjalan jauh seorang diri. "Loh? Kok tuan disini? Tuan jalan kaki?"

Jaemin hanya diam, menatap supir keluarganya itu. "Kunci rumah"
Setelah menerimanya Jaemin segera masuk.  Entah sudah berapa hari Jeno tidak memasuki rumah ini lagi, namun aroma khas Jeno masih saja bisa Jaemin rasakan. Sialnya, rumah ini terlalu banyak berkontak dengan Jeno, entah dapur, ruang tengah ataupun kamarnya. Jeno telah menyentuh semua, meninggalkan bekas untuk Jaemin yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Tubuhnya ambruk diatas karpet, menangis mengingat semuanya. Di kulkas pun masih tertempel kertas dengan tulisan sang papa yang hanya membuat Jaemin sesak, tidak lagi bersemangat.

Dirumah sakit, lebih tepatnya saat pemakaman Jeno. Jaemin pernah membenturkan kepalanya berulang kali dengan keras, berharap ia kembali tertidur dan mimpi yang nyata ini hilang. Berharap papanya sudah ada disebelahnya, menunggunya bangun dengan raut wajah khawatir nya. Jaemin masih terus merasa jika ini semua mimpi, terlalu sulit untuk membuat dirinya percaya. Terlalu sulit untuk menguatkan dirinya lagi.

Apalagi saat Jaemin berbagi senyum pada gadis kecil yang ia temui di rumah sakit, Lia. Jaemin tidak suka itu. Jaemin lebih suka berbagi pada Jeno, hanya untuk Jeno. Senyumnya kadang tidak berarti untuk orang lain, padahal nyatanya senyuman seorang Na Jaemin lah yang paling utama untuk orang-orang terdekatnya.
Mereka merasa asing berada disebelah Jaemin yang tidak tersenyum, merasa jika mereka tengah berada dengan orang lain.
"Papa...Nana mau ikut aja.."

Jaemin masih sesenggukan sembari berjalan menuju kamar, kamar mama papanya. Ia meringkuk diatas kasur, hidung dan pipinya memerah disaat wajahnya memucat. Matanya mulai terpejam kala kantuk mulai mengajaknya ke alam mimpi, bibirnya tersenyum kecil. Ia merasa ada yang mengusap kepalanya, membuatnya semakin mengantuk.
"Tidur yang nyenyak anaknya papa, hari ini pasti lelah"

[]

Kalian pada bilang gak kecewa,
Aku yang kecewa woe:')

Ini aku yang pikirin, aku yang ketik, aku yang publish juga.
Bisa-bisanya aku juga yang kecewa, aku yang gak terima.
Tokoh Jeno disini udah bikin saya nge fans woe hueeee😭

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang